Mengamati kesibukan bongkar muat barang, di tepian sungai Musi.Kuli panggul hilir mudik mengangkut segala rupa barang. Pompa air, kulkas, semen, sampai seperangkat pelaminan bergaya Maroko bersusun dilambung dan atas kapal. Terlintas dipikiran pasti beginilah dulu suasananya dimasa Sriwijaya dan Palembang Darussalam. Malah lebih ramai, karena orang-orang dari seberang pulau dan benua juga berlabuh di sini.
Mendung sudah mengantung lama di atas jembatan Ampera akhirnya rontok juga. Saya berlari kecil, Ikut beteduh di bawah terpal plastik pedagang emperan. Wulan namanya, tanggal 16 April nanti dia genap berumur 15 tahun. Sudah hampir dua tahun dilapak selebar rentang tangan ini ia mengelar dagangan.Mulai jam 8 pagi sampai kira-kira jam 4 sore setiap hari.
Kuli yang basah hujan bercampur keringat duduk sebentar melepas lelah sambil minum es atau makan kue. Ada yang bayar langsung, banyak yang makan dulu setelah dapat upah baru bayar. Kelihatanya belum pernah ada masalah,karena Wulan santai saja menganguk pada lelaki-lelaki itu. Mengoreksi diri sendiri,mereka cuma susah bukanya koruptor yang main kabur saja.
Sedang asik ngobrol ,seorang perempuan yang lumayan muda dan anak kecil tiba ,Ibu dan adik Wulan. Wulan menyerahkan pendapatan hari ini, rupanya ada yang akan mereka beli di Pasar 16.Hujan sudah mulai reda, saya pun pamit pada Wulan sekeluarga. *****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H