Mohon tunggu...
H.D. Silalahi
H.D. Silalahi Mohon Tunggu... Insinyur - orang Tigarihit

Military Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ridwan Kamil, Anies Baswedan dan Kisah Tragis Anas Urbaningrum

22 November 2020   19:55 Diperbarui: 23 November 2020   00:58 1491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anies Baswedan dan HRS (sumber : Hops.id)

Musuh dari musuhmu adalah temanku. Peribahasa kuno yang disadur dari bahasa Sansekerta ini, mungkin merupakan susunan kalimat yang paling tepat untuk mengambarkan dunia politik. Politik tidak mengenal kawan maupun lawan. Interaksi dilakukan semata-mata demi kepentingan.

Namun, jangan pula menjadi apatis dan anti politik. Kendatipun dalam prosesnya sering diwarnai jebakan dan intrik, sejatinya politik adalah cara untuk mencapai cita-cita luhur yakni menggenggam kekuasaan demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Kepulangan Habib Riziek Shihab (HRS) ke Indonesia, seperti mengingatkan kembali akan intrik dan jebakan dalam politik. Dalam dunia perpolitikan, HRS memang bukan siapa-siapa. HRS tidak pernah aktif di partai ataupun pernah menduduki jabatan politik. Tetapi dalam sistem demokrasi yang mempersyaratkan suara rakyat adalah kedaulatan tertinggi, posisi HRS menjadi penting dimata para politikus. Bagi para politikus yang selalu ingin berkuasa, berkolaborasi dengan profil HRS yang memiliki basis massa yang besar, adalah suatu anugerah plus bonus elektabilitas.

Pemilihan Presiden Tahun 2024 memang masih lama. Tetapi para politikus, terutama yang dijagokan berpeluang dalam kontestasi Pilpres 2024 mulai mengambil ancang-ancang. Mereka mulai menebar pesona dan melakukan pencitraan, yang diharapkan dapat mendulang suara nantinya. Tidak heran, momen kepulangan HRS menjadi ajang bagi para politikus ini untuk menarik simpati.

Mulai dari petinggi partai  Demokrat, Gerindra dan tokoh sepuh seperti pendiri Partai Umat, Amien Rais membentangkan karpet merah atas tibanya HRS di Indonesia.  Pemangku Jabatan seperti Wakil Presiden Maaruf Amien, Gubernur DKI Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, juga tidak mau ketinggalan dalam penyambutan pentolan FPI ini.

Anies Baswedan dan HRS (sumber : Hops.id)
Anies Baswedan dan HRS (sumber : Hops.id)

Para pejabat publik ini seakan lupa dengan tanggung jawab moralnya sebagai seorang pejabat publik. Posisi yang dituntut mengayomi semua masyarakat tanpa mengenal golongan, suku, ras dan agama tanpa terkecuali. Anies Baswedan sendiri, malah menyempatkan sowan untuk menemui HRS di kediamannya. Sangat ironis. Para pejabat ini mungkin sudah lupa, bahwa HRS berangkat ke luar negeri, masih menyandang status sebagai tersangka atas berbagai kasus yang dituduhkan kepadanya. 

Untung saja, Pemerintah dan kepolisian cepat sadar dari kelengahannya. Kelengahan membiarkan kerumunan ditengah menggilanya covid19 di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, Presiden segera mencopot 2 Pangdam dan 2 Kapolda. Tidak cukup sampai disitu, Kepolisian juga segera memanggil Gubernur DKI dan Jawa Barat untuk dimintai klarifikasi atas pembiaran keramaian dan pengabaian penerapan protokol pencegahan covid19.

Pemanggilan kedua gubernur ini sontak mengagetkan khalayak ramai. Selain agak diluar kelaziman, bagi politikus yang dituntut untuk menjaga citra dan persepsi masyarakat, pemanggilan oleh aparat penegak hukum merupakan kerugian politis bagi Anies dan Ridwan Kamil. Bila dikaitkan lagi dengan Pilpres 2024, pemanggilan keduanya adalah kemunduran bila ditinjau dari sudut pandang pembentukan persepsi masyarakat.

Ridwan Kamil dan Anis Baswedan Belajarlah dari Cerita Tragis Anas Urbaningrum. 

ilustrasi bursa Capres 2024 (sumber : sindonews.com)
ilustrasi bursa Capres 2024 (sumber : sindonews.com)
Sebagai profil yang selalu masuk kedalam nominasi capres paling potensial tahun 2024, sebaiknya Anies Baswedan dan Ridwan Kamil harus lebih menjaga sikap dari sekarang. Apalagi keduanya adalah pemangku jabatan gubernur di propinsi yang paling disorot di Indonesia. Dibanding calon lain yang digadang-gadang sebagai capres 2024 seperti Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo maupun Puan Maharani, sejatinya mereka berdua sudah selangkah di depan. 

Status DKI dan Jawa Barat yang dianggap sebagai barometer nasional, membuat keduanya sering disorot media. Sorotan media ini, membuat Anis Baswedan dan Ridwan Kamil lebih populer dibandingkan pesaing capres lainnya, dimata masyarakat Indonesia. Bagi keduanya, cukup dengan menjaga kinerja dan sikap selama menjabat Gubernur akan membuat keduanya mendapat keuntungan seperti yang didapatkan Jokowi kala menduduki jabatan Gubernur di DKI. Bila dibaratkan sebuah produk, sosok Gubernur DKI dan Jawa Barat mempunyai kesempatan untuk mengiklankan diri secara gratis.

Tetapi Anis Baswedan dan Ridwan Kamil harus sadar sepenuhnya, bahwa dengan hanya bermodalkan popularitas dan elektabilitas tidaklah cukup mengantarkan mereka menjadi Presiden. Jabatan Ri 1 adalah puncak sebuah jabatan yang paling diincar seluruh politikus tanah air. Menjadi pemimpin 250 juta lebih rakyat Indonesia, tidaklah mudah. Harus siap menghadapi jebakan dan intrik dari lawan politik dan tangan-tangan yang tidak terlihat.

Anas Urbaningrum sudah merasakan pahitnya bila bermimpi jadi Presiden. Cita-cita AU menjadi Presiden kandas setelah terjatuh dalam pusaran jebakan dan intrik politik pesaing politiknya. Padahal dalam konteks perpolitikan Indonesia, karir politik AU sangat pantas dijadikan sebagai contoh.  AU menggapai tempat terhormat dalam perpolitikan Indonesia, murni didapat dari hasil kerja dan kompetensi. Tidak seperti kebanyakan rekan-rekannya yang mengandalkan dinasti politik, AU memulai karir politiknya dari level terbawah.

AU memulai perkenalannya dengan dunia politik ketika berkecimpung dalam organisasi tingkat kampus, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di HMI, AU berhasil mencapai posisi puncak, yakni sebagai Ketua PB-HMI tingkat Nasional. Posisi ini turut andil mengenalkan AU dalam pentas politik nasional. Tidak mengherankan, rekam jejak yang baik di organisasi mahasiswa ini, membawa AU ikut bergabung menjadi anggota tim Revisi Undang-Undang Politik yang kemudian melahirkan UU No. 2/1999 tentang Partai Politik, UU No. 3/1999 tentang Pemilihan Umum, dan UU No. 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.

Karir politik AU semakin moncer setelah beliau dilantik oleh Presiden Abdurahman Wahid menjadi salah satu komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU). Usai Pilpres 2004, AU memutuskan terjun dalam arena politik praktis setelah bergabung dengan partai yang didirikan oleh Presiden Indonesia saat itu, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

Aktif berkecimpung di partai Demokrat, mengantarkan AU menjadi salah satu orang terkuat di Indonesia. Bagaimana tidak, setelah terpilih menjadi ketua umum di partai pemenang Pemilu mengantarkan sosok AU menjadi salah satu orang paling berpengaruh di negeri ini. 

Sayangnya, terpilihnya AU sebagai Ketua Umum Partai Demokrat diiringi rumor tidak sedap yang beredar di akar rumput. Desas-desus yang beredar, SBY tidak menginginkan AU menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. SBY lebih menginginkan sosok lain untuk menduduki posisi puncak di Partai Demokrat. Memang tidak dipungkiri, sosok AU yang memiliki basis massa dan jaringan yang solid, dikhawatirkan akan mengalahkan pengaruh SBY di internal partai Demokrat.

Tetapi rumor ini tidak menghalangi pergerakan AU. Duduk sebagai ketua the ruling party di usia yang masih muda, membuat AU memiliki rencana ambisius untuk ikut dalam kontestasi Pemilihan Presiden tahun 2014. Konsolidasi dan persiapan beliau menuju pemilihan RI 1 terlihat mulus dan rapi. Sayangnya, mimpi AU harus pupus setelah penangkapan, Nazaruddin, Bendahara Partai Demokrat.

Penangkapan orang dekat AU ini, turut menyeret AU ke dalam pusaran kasus korupsi Hambalang. Dalam pengakuannya, Nazaruddin membeberkan keinginan AU untuk mengumpulkan logistik sebagai persiapan beliau dalam kontestasi Pilpres tahun 2014. Memang rumor yang beredar, AU paling tidak mebutuhkan dana kurang lebih 10 Triliun Rupiah agar berpeluang terpilih dalam pilpres 2014.

Cerita selanjutnya sudah bisa ditebak, karir politik AU yang cemerlang harus tenggelam. Kejatuhan AU salah satunya diakibatkan keinginan beliau menjadi RI1. Selain karena kasus korupsi, sepertinya tangan-tangan tidak terlihat dari pesaing politik AU, juga turut andil dalam kejatuhan beliau.

Hal ini dapat disimpulkan dari putusan hukuman beliau yang menyertakan hukuman tambahan yakni pencabutan hak politik, hak untuk memilih dan dipilih. Untuk diketahui, setelah era reformasi, AU adalah politikus pertama yang dihukum dengan pencabutan hak politik. Hukuman tambahan ini, secara langsung mematikan karir politik AU.

Bercita-cita menjadi RI1 memang bukan impian yang ringan. Seorang calon Presiden tidak cukup hanya memiliki popularitas dan elektabilitas. Modal itu harus ditambah dengan logistik yang cukup dan didukung oleh orang-orang dekat yang kredibel serta jejaring politik yang sanggup menghempang serangan dan jebakan dari lawan politik.

Sebagai calon yang digadang-gadang ikut dalam kontestasi Pilpres 2024, Ridwan Kamil, Anies Baswedan dan calon-calon yang lain, sebaiknya menjadikan terpelesetnya Anas Urbaningrum sebagai bahan pelajaran. Terpuruknya AU adalah salah satu contoh sahih, begitu beratnya tantangan dan halangan bila bercita-cita menjadi RI1. 

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun