Parapat adalah kota kecil setingkat kelurahan yang terletak di di pinggiran Danau Toba, danau terbesar di Asia Tenggara. Parapat merupakan bagian dari kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara.Â
Dari tahun 80-an, Parapat sudah terkenal sebagai daerah tujuan wisata lokal dan mancanegara, penyebutan daerah inipun identik dengan "Kota Wisata Parapat", bukan hal yang aneh apabila mata pencaharian sebagian besar masyarakat disini bergerak di sektor jasa yang berhubungan dengan parawisata, Â seperti usaha travel, money changer, guide, karyawan hotel dan banyak lagi jenis pekerjaan di kota ini, yang dihidupkan dari sektor pariwisata.
Tetapi untuk saat ini, julukan Kota Wisata Parapat mungkin harus dipertanyakan lagi, Parapat sudah kalah pamor dari "adik-adiknya" . Destinasi wisata baru yang bermunculan di pinggiran Danau Toba, contoh paling anyar adalah pada saat libur Lebaran tahun ini, para wisatawan lebih memilih berlibur ke destinasi wisata lain seputaran Danau Toba, sementara Parapat tetap nyaman dengan kesepiannya.......preeettt. Â
Sebagai orang yang lahir dan besar disana saya merasa prihatin dan miris melihat kondisi ini, rindu melihat Parapat yang hiruk pikuk dengan keramaian  wisatawan yang hilir mudik menikmati liburannya.Â
Memang, semenjak krisis moneter tahun 1998, geliat sektor pariwisata di Parapat tidak pernah pulih lagi seperti sediakala, tetapi faktor ini tidak relevan lagi pada saat ini, sebab destinasi wisata lama yang terdampak krismon 1998, seperti Bali, Yokyakarta sudah pulih dan malah makin maju dibandingkan sebelum krisis moneter tahun 1998.
Apa yang salah dengan Parapat? padahal krisis Moneter sudah berlalu 20 tahun? Kenapa pariwisata Parapat tidak pernah pulih lagi seperti sebelum tahun 1998? Kenapa Parapat kalah dengan destinasi wisata lainnya yang terletak disekitar Danau Toba? Apa yang harus dilakukan warga Parapat?Â
Sudah seharusnya Pemerintah Daerah dan warga Parapat menanyakan ini. Â Warga Parapat dan Pemda Simalungun seharusnya gelisah dan kritis melihat kondisi ini.
Parapat memang harus berubah kalau tidak mau digilas zaman. Â Bercermin dari Bali dan Yokyakarta, hal pertama yang harus dirubah adalah mental dan attitude para pelaku pariwisata disana. Sebagian besar turis yang berwisata ke sana pasti pernah mengalami pengalaman buruk dengan pedagang yang tidak ramah kepada pembeli, mematok harga sesuka hati, menipu timbangan, ditambah ladi dengan petugas parkir ilegal, yang mematok tarif seenaknya, awak wahana air yang menipu harga dan durasi pemakaian, serta situasi tidak nyaman akibat banyaknya wisatawan yang kehilangan barang- barang pribadi yang berharga.Â
Semua kelakuan buruk itu harus diubah dan memang harus. Pelaku pariwisata disana  harus memulai melakukan aksi yang membuat wisatawan nyaman.  Bukan tindakan yang rumit, cukup dengan ramah kepada pengunjung, membuat label harga untuk barang dagangan, menetapkan tarif resmi wahana air dan  parkir. Pelaku wisata kota ini juga harus mulai belajar lagi berbuat hal-hal receh yang positif seperti mengembalikan barang-barang wisatawan yang tertinggal di lokasi wisata, menjaga kebersihan sekitar fasilitas tempat wisata.  Percayalah hal-hal tersebut akan berdampak sangat besar, dan itu bukan hal yang sulit karena aksi-aksi yang kita sebutkan diatas adalah basic mentality  di semua sektor jasa, dimanapun itu.
Kalau pelaku wisata Parapat sudah dapat menerapkan basic mentality ini, untuk selanjutnya tinggal menantikan peran dari Pemerintah Daerah untuk melakukan Program yang mendukung pariwisata Parapat ini.Â