Pasca pengunduran diri Setya Novanto sebagai Ketua DPR dan diterimanya surat pengunduran diri tersebut oleh Mahkamah Kehormatan Dewan, kini netizen bisa bernafas lega. Betapa tidak, kasus indikasi pencatutan ini menyita banyak energi dan perhatian, meski hanya sekedar cuitan di media sosial ataupun berbalas komentar di forum publik macam Kompasiana ini.
Menyaksikan semua itu, berbagai perasaan yang campur-baur timbul dalam hati. Jika kasus Setya Novanto, sang eks Ketua DPR ini diibaratkan permen, label Nano Nano barangkali pas menggambarkannya. Campur-aduk. Dan ternyata saya tidak sendirian, setidaknya begitu juga yang dirasakan oleh seorang teman yang saya sadur postingannya di sebuah media sosial sebagai berikut. Ada rasa senang, gembira, lucu, bingung, jijik, jengkel, marah, kecewa, sedih, galau, miris and so on, you name it.
Saya senang menyaksikan bahwa masih ada orang-orang yang berpikiran jernih, punya hati nurani, dan mempunyai akal sehat di negeri ini, baik dari kalangan elit politik, kalangan akademisi, kalangan penegak hukum, tokoh agama dan tokoh masyarakat. Mereka itu dapat melihat persoalan SN secara objektif dan adil. Mereka seakan-akan menyuarakan suara hati sebagian besar rakyat Indonesia menyangkut kasus SN
Saya senang kepada Menteri ESDM yang mengadukan kasus pelanggaran etik SN (yang adalah ketua DPR RI saat itu) ke MKD. Pengaduan itu butuh keberanian dan kekuatan mental. Saya juga senang kepada Maroef Syamsoeddin yang berani membuka kedok dan membongkar kejahatan segelintir elite politik negeri ini. Ini suatu sikap yang berani dari Maroef
Saya jengkel kepada elit-elit partai tertentu dan juga kepada sebagian pimpinan DPR karena memberi komentar-komentar yang menyepelekan bobot kasus dugaan pelanggaran etik ketua DPR RI. Saya marah kepada mereka karena mereka membela SN dan berusaha melindunginya tanpa melihat dan menilai kasusnya secara objektif.
Dari sikap mereka timbul pertanyaan dalam hati: “Jangan-jangan SN hanya ‘bidak’ yang tertangkap sedangkan elit-elit politik yang membela dan melindunginya sebenarnya punya keterlibatan lebih dalam kasus tersebut "aktor-aktor" di belakang layar. Bagaimana jika itulah big picture-nya?”
Saya gembira melihat sebagian anggota MKD, yang melihat kasus SN dengan cermat dan objektif, terutama dari Demokrat, Hanura, Nasdem, PKB, PDI-P dan PAN. Tetapi saya jengkel dan marah besar kepada sebagian anggota MKD, terutama dari Golkar, Gerindra, PPP dan PKS, karena dalam persidangan-persidangan mereka berlaku seperti orang-orang bodoh (atau memang benar-benar bodoh?). Pertanyaan-pertanyaan mereka kepada pengadu dan saksi tidak relevan, ngawur, dan tak nyambung dengan pokok persoalan. Entah apa yang membuat mereka itu diangkat menjadi anggota MKD. Memalukan dan menjijikkan
Saya kasihan kepada SN karena jadi bulan-bulanan cacian, cercaan, dan kemarahan rakyat. Selama sebulan lebih sejak kasusnya mencuat ke permukaan, publik langsung mengadili SN seakan-akan ia sudah menjadi orang "terhukum/terpidana" padahal kasusnya belum diproses di MKD. Di pihak lain, saya jengkel kepada SN karena dia ngotot tak bersalah sekalipun sudah ada bukti rekaman. SN tidak gentleman, tidak berani bertanggungjawab atas tindakannya. Makin menjengkelkan lagi ketika SN mencari-cari perlindungan ke Komnas HAM, dan mengadukan PemRed Metro-TV ke Bareskrim Polri.
Saya merasa jijik mendengar komentar-komentar berat sebelah dari orang-orang yang diwawancara di TV-One dan yang berusaha membelokkan persoalan pelanggaran etik SN ke persoalan lain. Jelas sekali TV-One pro SN. Saya mual dan muak mendengar komentar-komentar yang mencampur-adukkan persoalan pelanggaran etik dengan persoalan hukum.
Lucu, membingungkan dan tak masuk akal bagi saya bahwa anggota MKD bisa diganti setiap saat. Ada anggota MKD diganti ketika MKD sudah akan menyidangkan kasus SN. Bahkan masih ada anggota MKD yang diganti ketika proses pembahasan sudah berjalan. Yang lebih lucu lagi, yang harus menandatangani Keputusan penggantian anggota MKD adalah Ketua DPR, yang nota-bene adalah "pesakitan yang sedang diadili".
Miris rasanya melihat bahwa sebagian besar anggota DPR (juga sebagian anggota MKD) tidak bebas bertindak atas dasar hati nuraninya tetapi hanya melakukan apa yang diinginkan partai/pemimpin partai. Hati nurani mereka-mereka itu sudah dibelenggu oleh partai/pemimpin partai. Telinga mereka hanya terbuka kepada suara partai/pemimpin partai, tetapi sudah tuli dan tertutup kepada suara rakyat. Apakah para anggota DPR yang disetir partai/pemimpin partai masih layak disebut "Wakil Rakyat" untuk menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan rakyat? Atau tidakkah lebih tepat disebut "Bidak Partai" yang menyuarakan keinginan partai dan memperjuangkan kepentingan partai? Apabila mereka tidak menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan rakyat mereka bukan lagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melainkan anggota Dewan Penghianat Rakyat (memang singkatannya DPR juga).