Â
Saya belum menikah. Tentu saja, ingin menikah. Tetapi jangan ditanya kapan ingin menikah. Karena saya punya seribu jurus untuk ngeles. Mulai dari jurus amoeba, pura-pura lupa hingga "sudah ada rencana".
(Bagi yang berminat mengetahui ketiga jurus tersebut, tidak perlu sungkan untuk bertanya ke saya.)
Tapi memang benar, tiga hari yang lalu saya cabut gigi geraham saya.
Untuk pertama kalinya setelah era gigi susu usai, kini aku harus melepasnya pergi. Iya, si gigi geraham itu.Â
Awalnya karena kesombongan.
Dicampur keteledoran, plus sedikit bumbu kemalasan.
Ketika gigi masih kuat, tak pernah ingat nasihat dokter untuk mengunyah makanan setidaknya dua puluh sampai tiga puluh kali.
Mungkin pernah juga, hanya saja tidak ingat. Soalnya tidak pernah kepikiran untuk menghitung berapa kali kunyahan. Apalagi kalau makanannya enak (haram pula ... eh). Betapa teledornya saya, seandainya manual ini saya laksanakan, bukan tidak mungkin si geraham masih nangkring menghiasi rongga mulut ini.Â
Soal kesombongan, ah. Tidak perlu sebenarnya saya ceritakan disini. Namanya juga kesombongan. Tidak perlu diumbar.
Tapi sudah kadung ditulis. Ya begitulah. Dulu masih dengan bangganya pamerin kuatnya geraham yang selalu bisa diandalkan ketiga alat membuka tutupan botol bir tidak kelihatan, ngumpet entah dimana.
Baru-baru ini iklan Pepsodent yang diwakili oleh anak-anak yang lugu kembali menyadarkan saya bahwa semuanya memang berawal dari "lubang kecil, kalau dibiarkan jadi besar, terus sakit". Begitulah lobang kecil kalau dipakai terus lama-lama bisa menjadi besar. Malas ternyata bisa berakibat naas.
Singkat cerita, geraham saya dengan cavity-nya sudah berhasil berkenalan dengan beberapa kali rintangan. Mulai dari tangan dokter gigi cantik di JMC Pejaten, dokter gigi yang lebih cantik lagi di Dent Smile Iskandar Muda, hampir saja tewas di tangan ibu perawat di Puskesmas Kebayoran Lama, dan tetap bertahan. Sebelum akhirnya si gigi geraham menyerah di tangan si dokter gigi yang sedikit lebih tua di RS Yadika. Akhirnya, mau tak mau, aku harus ikhlas melepasnya pergi.
RIP geraham.
Lantas, apa hubungannya dengan menikah?
Banyak orang yang belum menikah (tetapi berpotensi menikah) menyebut bahwa kami ini termasuk golongan yang terlalu teliti. Kalau difikir-fikir ini bagus juga untuk menekan laju ledakan populasi penduduk di Indonesia. Alasan mengapa belum menikah bisa beragam.