Hari-hari ini wacana tentang Surat Edaran Kapolri tentang Hate Speech (Ujaran Kebencian) semakin luas dibicarakan, baik di media massa, maupun media sosial lain yang lebih luas jangkauannya seperti Facebook dan Twitter, bahkan dalam perbincangan sehari-hari seperti yang saya alami bersama teman-teman di tempat kerja tadi siang. Dan pembicaraan kami pun melebar kemana-mana. Awalnya hanya mencoba mencari-cari kira-kira bagaimana “berita” tentang hate speech ini dimengerti oleh berbagai lintas generasi. (Saya beri tanda kutip karena sesungguhnya keprihatinan serupa bukan barang baru lagi). Kami pun mulai mencari beberapa statement yang cukup iconic dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan umur.
Benci tapi ngangenin
"I miss you but I hate you" kata Slank. Dengan jumlah penggemar yang jutaan di Indonesia, (belakangan bahkan pak Presiden Jokowi pun tampaknya ikut dalam barisan ini pada kampanye pilpres lalu), lirik lagu ini cukup populer. Tapi popularitasnya tidak mengandung tendensi atau konten yang rentan disalahartikan. A song as a song. Hanya ungkapan romantisme dalam dinamika asmara orang-orang yang mencari cinta.
Benci tapi Cinta
.
"I hate that I love you", kata "jomblo ngenes" yang tidak terima mantannya memilih orang lain. Yang ini malah mendapat rating yang terus menaik. Kendatipun, tema ini lebih akrab bagi anak remaja dengan segala ke-"alay"-an mereka.
Meski dibohongi, tetap tidak bisa membenci
"I love the way you lie", begitu penggalan lirik lagu yg dilantunkan Rihanna. Bagi penggemar diva Rihanna, penggalan lirik lagunya ini begitu menarik hingga dikutip jutaan kali. Bagi saya, liriknya membantu mengungkapkan suatu paradoks sederhana bahwa: "Orang-orang ternyata bisa membenci diri mereka sendiri karena tidak membohongi perasaan cinta kepada orang yang telah membohonginya berkali-kali".
Saya penasaran, apakah perasaan yang sama dimiliki oleh seorang pemilih aktif terhadap wakil rakyat di DPR yang dulu didukungnya. Soalnya, yang terakhir ini kerap menebar janji kampanye manis. Tapi lebih sering tidak lebih dari kebohongan belaka ketika mereka sudah merasakan empuknya kursi di Senayan.
Sampai disini, "hate" (benci, kebencian) dan "love" (cinta, sayang; antitesis dari kebencian) hanya paradoks yang bisa diterima oleh manusia dalam hubungan horisontal dengan sesama lainnya dalam kehidupan keseharian. Indikasi masalah mulai muncul ketika lingkaran orang-orang yang terlibat itu meluas. Terutama ketika ketika "hate speech" menjadi isu nasional, terutama di negeri dengan 254 juta penduduk ini, wanti-wanti saja, perlu upaya lebih serius untuk mensosialisasikan poin-poin dari A hingga Z dari Surat Edaran ini.
Mengapa?
Karena demografi Indonesia ternyata memang membentang sangat luas. Lepas dari parameter apapun yang akan digunakan: ideologi, tendensi politik, tingkat ekonomi, kelas sosial, dan etinisitas. Lebih luas dari yang mungkin menjadi anggapan umum. Sebab, seringkali, umum bagi kelompok tertentu, ternyata tidak umum bagi kelompok lain. Begitulah intisari pembicaraan kami siang tadi.