Maka, alih-alih mengamini bahwa identitas Batak hanya takdir label budaya - Â lebih sedih lagi - pemberian Belanda semata, upaya preservasi kekayaan budaya di sub-subetnis Batak yang ada akan lebih positif jika diarahkan pada upaya penggalian literatur yang bisa memberi jawaban dan membantu orang Batak zaman sekarang menemukan kembali spirit bersama yang dulu pernah mereka miliki ketika berhadapan dengan dominasi kesulatanan Deli atau invasi Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat.
Langkah sederhana yang konkret untuk dilakukan adalah mempelajari secara terus-menerus kesamaan sejarah senasib-sepenanggungan di antara sub-subetnis Batak tadi tanpa tenggelam dalam eufora reuni para pemuja arwah leluhur, tetapi secara produktif menemukan akar genealogis dan ketersambungan mereka dengan para leluhur dengan membaca secara jujur dan mengoreksi dengan teliti literatur yang disebut sebagai 'produk Belanda' itu. Alih-alih mengkritik tanpa menawarkan alternatif solusi, melihat konteks sitz im leben masyarakat dan situasi jurnalistik pada zaman itu dan membacanya pada zaman sekarang tanpa jatuh pada anakronistik - ini upaya yang lebih bermanfaat dan berdaya guna.
Penulis sendiri menemukan bahwa dalam masyarakat yang masih kental dengan tradisi oral "ninna tu ninna", WM. Hutagalung, penulis yang kerap dituduh kompromistis dengan Belanda dalam upaya kendali dokumentasi tadi, ternyata juga cukup jujur. Dalam bukunya Pustaha Batak - Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak yang diterbitkan CV Tulus Jaya, misalnya ia jujur menunjukkan inkonsistensi dari urut kacang genealogis dengan melaporkan apa adanya yang ia dengar, menyebutkan versi-versi yang ada kendati berbeda dan tidak melakukan justifikasi bahwa versi yang satu lebih baik atau lebih benar dari versi lainnya. Dalam hal ini, Amang Hutagalung sudah mengikuti kaidah jurnalistik yang dituntut "merely reporting" ketimbang "investigative based on some presumptions".
Versi narasumber A:
Nunga pinaboa di jolo, ia Haro (Karomunthe) tu Karo do laho. Asa laos maringanan disi do ibana jala marpinompari. "Karokaro" do marga parsadaan ni pinomparna.
Versi narasumber B (Pada bagian "Taringot tu angka marga na masuk tu Sumba"):
Ia nioli ni Sorimangaraja tolu do, i ma: Nai Ambaton, Nai Rasaon dohot Nai Suanon (Si Boru Sanggul Haomasan) .
Ia tubu ni Nai Ambaton, i ma: Simbolon, Munte (Raja Sitempang), Tambatua, Saragitua, Sianahampung dohot Haro (Karomunte).
Versi narasumber C (Pada bagian "Taringot tu pinompar ni Nai Ambaton"):
Nunga sinurathon nian di jolo taringot tu partording ni partubu ni Nai Ambaton. Alai mangihuthon pandok ni na deba, sada do tubu ni Nai Ambaton, na margoar Suliraja. Dua do na nioli ni Sariburaja. Ia tubu ni na sada, i ma: Simbolon dohot Munte (Raja Sitempang) jala tubu ni na sada nari, i ma Tambatua, Saragitua, Sianahampung dohot Haro (Karomunte). Ina sada i ma tubu ni tuan laen do. Ina dua i na so hahua.