Gereja Suku Tak Suka Bersikap Rasisme! Jadi Sukanya Apa? Ya itulah, suka yang disukai Yesus!
Semester ini saya mengampuh mata kuliah Kewarganegaraan (PKN) di kampus, ruang saya mengabdi saat ini. Salah satu konten mata kuliah wajib nasional itu adalah materi tentang Pancasila.
Soal konten Pancasila itu, hari Senin (19/11/2024), seorang mahasiswa yang baru saja membaca artikel saya ditayang di Kompasiana, Sabtu (16/11/2024), berjudul "Sekelumit Kisah dari Pangalengan di Moment 90 Tahun Gereja Kristen Pasundan", mengusik dengan pertanyaannya.
"Pak apakah gereja suku semacam ulasan di artikel itu tak merupakan sebuah bentuk sikap rasisme?" demikian pertanyaan sang mahasiswa.
Saya tahu pertanyaan itu lebih sekadar gurauan, ia mencoba bercanda mengingatkan pada salah satu dari 45 butir penghayatan nilai Pancasila, pada sila ketiga soal mengembangkan persatuan, satu yang jadi penekanan saya dalam perkuliahan itu.
Secara tak langsung sang rekan mahasiswa seakan melihat keberadaan gereja yang eksis mengorganisir pelayanan dalam konteks suku tertentu tak ayal berpotensi melanggengkan rasisme yang mengancam kesatuan bangsa.
Sekalipun ia hanya bermaksud bercanda, saya secara serius kemudian memikirkan pertanyaannya itu ...
"Bagaimana jika ia serius menuntut jawab?"
"Bukankah beberapa dekade akhir ini isu rasisme kembali menjadi perbincangan diberbagai tempat. Menjadi keprihatinan diberbagai area kehidupan?"
"Bukankah rasisme mudah ditemukan pada pertandingan olah raga, perkantoran, bahkan tak terkecuali gereja tempat orang-orang yang harusnya mudah menyatu karena ber-Tuhan?"
Pertanyaan-pertanyaan itu beruntun, serius, ia muncul menuntut perhatian.
Jadi apakah keberadaan gereja-gereja suku di Indonesia juga semua yang mereka lakukan selama ini merupakan sebuah bentuk rasisme? Inilah pertanyaan besar yang hendak dijawab dalam artikel ini.