"... tak seharusnya peran di area publik dijadikan atau dilihat sebagai penghalang untuk keberhasilan dalam erea domestik."
"Saya berniat tinggalkan pekerjaan itu, Ran!" ungkap Tatik, suaranya lirih antara pasrah dan enggan.
"Loh, kenapa? Sudah 15 tahun lebih kamu bekerja di situ, sekarang mau ditinggalkan! Kenapa, apa sekarang suamimu keberatan kamu bekerja?" balas Rani, rekan kerja Tatik.
"Suamiku tak masalah, ia tetap mendukungku. Hanya aku merasa bersalah, sepertinya anakku tak terlalu mendapat perhatian penuhku. Usianya tahun ini jalan 3 tahun, aku ingin beri banyak perhatian demi pertumbuhan baiknya." ungkap Tatik kembali.
"Sayang, andai saja keduanya kamu jalani bersamaan. Mungkin bisa!"
"Aku tadinya berharap begitu, namun rasanya makin bersalah bila tak beri banyak waktu untuk anakku." pungkas Rani pada temannya itu.
***
Apa yang dialami Tatik dalam kisah awal tadi adalah gambaran seorang ibu yang mengalami hambatan dalam berkarier atau bekerja.
Hambatan yang dimaksud sering terjadi diantaranya konflik antara pekerjaan dan keluarga atau yang sering disebut sebagai konflik peran ganda, yaitu pada saat yang sama, seorang wanita harus memilih antara keinginan berkarier atau mengabdi sebagai ibu rumah tangga.
Tak dapat dipungkiri, seiring dengan perkembangan zaman semakin banyak ditemui kesuksesan perempuan  di dunia kerja. Ambil contoh, pemimpin tertinggi negeri ini pernah dijabat seorang perempuan. Atau siapa yan tak kenal Sri Mulyani, perempuan yang sukses dalam karier sebagai seorang menteri keuangan, era pemerintahan presiden Jokowi.
Namun, secara umum sebagai seorang ibu yang melakoni tanggung jawab tugas dalam keluarga (domestik), sekaligus tanggung jawab tugas pekerjaan atau karier (publik) adalah perkara tak mudah. Untuk sukses diharapkan seorang ibu dapat menyeimbangkan atau berhasil dalam keduanya.