"Orang tua yang berupaya memahami perasaan anak akan mungkin sekali tidak akan ikut terpancing emosi ketika anak sedang tak bagus emosinya."
"Pa, ada yang lucu. Si Fazhan berulah lagi hari ini!" istri saya membuka percakapan beberapa hari lalu sesaat setelah saya tiba di rumah.
"Hehe, kenapa lagi dia?" tanya saya.
"Mamanya cerita, tadi pagi dia dibangunkan untuk ikut kegiatan prasekolah. Tapi nggak mau dia, pakai nangis menjerit pula. Eh, berikut teman-temannya sudah mau pulang, dia rengek-rengek minta diantar katanya mau ke sekolah".
"Haha, Fazhan ... Fazhan!" tawah saya dengar cerita istri.
Fazhan adalah anak laki-laki tetangga kami, usianya  lima tahun. Ia belum cukup umur untuk bersekolah, namun saat melihat teman mainnya yang usia di atas dia sudah bersekolah, ia pun merengek minta untuk ikut ke sekolah. Maka orang tuanya mengikutkannya dalam program pendidikan untuk anak usia prasekolah yang diadakan oleh desa.
Kejadian hari itu sudah untuk kesekian kali ia berulah membuat repot orang tuanya. Tak hanya itu, tak jarang dengan emosinya ia memaksa, minta keiinginannya dituruti orang tua. Jika tidak ditanggapi, ia ngamuk sambil menangis sejadi-jadinya.
Kelakuan Fazhan dalam kisah tadi adalah kondisi yang sering terjadi pada anak usia prasekolah karena mereka belum mampu mengendalikan emosi. Hal tersebut juga bisa terjadi karena perkembangan kognitif anak yang masih terbatas.
Pada masa prasekolah (5-7 tahun), anak sudah mampu mengekspresikan emosi seperti marah, takut, iri hati, cemburu, sedih, gembira, sayang, ataupun rasa ingin tahu. Ketika berinteraksi dengan orang-orang disekelilingnya anak akan banyak mempunyai pengalaman belajar mengembangkan emosinya itu.
Mengenal Emosi Anak Prasekolah
Beberapa macam emosi anak yang dapat ditemui, antara lain: