Mohon tunggu...
Oktaviano Donald
Oktaviano Donald Mohon Tunggu... lainnya -

Masih mengagumi negeri Indonesia,para bapa bangsa, dan orang tua yang membesarkan saya; namun sedikit ragu dengan dengung perubahan dari mulut para opurtunis di Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Money

Bisnis sebagai Profesi Etis?

6 Agustus 2012   09:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:11 1774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali. Etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai 'keuntungan maksimal'.

Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis outsourcing. Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh 'ketamakan' sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya.

Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai 'Mitos Bisnis Amoral'. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis tak mungkin dilepaskan dari moralitas dan etika. Seperti dikatakan De George "bisnis seperti kebanyakan kegiatan sosial lainnya, mengandaikan suatu latar belakang moral, dan mustahil bisa dijalankan tanpa latar belakang moral seperti itu."

Bisnis sebagai profesi etis

Memang benar bahwa; dalam pemahaman bisnis sebagai suatu kegiatan yang menyangkut memproduksi, menjual, dan membeli barang dan jasa untuk 'memenuhi kebutuhan masyarakat', keuntungan tetap tak tertangguhkan sebagai keharusan dalam bisnis. Keuntungan seringkali menjadi pangkal dari permasalahan label 'amoral' dari bisnis. Keuntungan pada dirinya tak buruk. Keuntungan menjadi 'buruk' dalam upaya pencapaiannya yang meng'halal'kan berbagai macam cara. Keuntungan merupakan tujuan niscaya dari bisnis; fair dan wajar. Namun, keuntungan bukanlah tujuan utama dan satu-satunya dalam bisnis.

Tujuan utama bisnis, sebagaimana diungkapkan oleh Adam Smith (dalam bukunya, An Inquiry into the Nature and Causes the Wealth of Nations) ialah bukan untuk mencari keuntungan melainkan untuk memenuhi kebutuhan hidup orang lain, dan hanya lewat itu seseorang bisa memperoleh apa yang dibutuhkannya. "Berikanlah apa yang saya inginkan, dan Anda akan memperoleh [dariku] ini yang Anda inginkan", tegasnya. Keuntungan hanya dilihat sebagai konsekuensi logis dari kegiatan bisnis; yaitu, dengan memenuhi kebutuhan masyarakat secara baik, keuntungan akan datang dengan sendirinya. Masyarakat akan merasa terikat dengan membeli barang dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan yang memenuhi kebutuhan mereka dengan mutu dan harga yang baik.

Di samping itu, bisnis sebagai praksis merupakan kegiatan individu. Bisnis menjadi ruang tempat individu beraktivitas dengan lingkungan dan sesamanya dalam bidang bisnis. Oleh karena kegiatan bisnis adalah kegiatan manusia, maka bisnis dapat dan memang pada tempatnya untuk dinilai dari sudut pandang moral, dari sudut pandang baik buruknya tindakan manusia bisnis sejauh sebagai manusia, persis sama seperti semua kegiatana manusia lainnya juga dinilai dari sudut pandang moral. Dengan demikian, bisnis tidak lepas dari etika yang merupakan refleksi kritis atas manusia yang bertindak.

Dengan demikian, bisnis memiliki etika. Hal ini juga berarti bisnis memiliki prinsip-prinsip etika (terapan atau profesi), yang merupakan penerapan prinsip etika pada umumnya-tanpa melupakan kekhasan sisem nilai dari setiap masyarakat bisnis-.Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis yang baik tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Atau dengan kata lain, prinsip-prinsip itu erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat. Dan dalam hal ini, operasional dari prinsip-prinsip atau nilai-nilai moral dunia bisnis itu termanifestasikan dan tersalurkan lewat apa yang disebut 'budaya organisasi'/'budaya perusahaan' (corporate culture) atau etos bisnis.

Budaya Organisasi (corporate culture): Implikasi Bisnis yang Etis

Dalam dunia bisnis, budaya organisasi dibangun sebagai landasan nilai-nilai (visi dan misi) bagi perusahaan. Nilai-nilai itu dihayati, dipraktekkan, dan diteruskan dari generasi ke generasi dalam kegiatan bisnis perusahaan demi tercapainya tujuan-tujuan yang dicanangkannya. Banyak perusahaan besar telah mengembangkan nilai budaya organisasi dan pada akhirnya berhasil sukses dan bertahan lama (Mis. Matsushita Inc., IBM, Johnson and Johnson dengan Kredo-nya, dan keyakinan perusahaan Borg-Wagner).

Konosuke Matsushita, pendiri perusahaan Matsushita Inc., dalam bukunya yang terkenal "Not For Bread Alone" mengungkapkan misi luhur perusahaannya yang tidak sekadar mencari keuntungan. Misi perusahaannya itu ialah, meningkatkan standar hidup masyarakat, menyejahterakan masyarakat, dan membuat hidup manusia lebih manusiawi melalui pemenuhan kebutuhan mereka secara baik. Karena yang utama adalah memenuhi kebutuhan hidup manusia, dalam bisnis, perhatian terutama ditujukan pada konsumen dan juga karyawan perusahaan tersebut. Ini menjadi budaya organisasi atau etos bisnis yang dihayati oleh semua karyawan sejak masuk dalam perusahaan tersebut dan sekaligus menjadi keunggulan dan ciri khas perusahaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun