Mohon tunggu...
Oktaviano Donald
Oktaviano Donald Mohon Tunggu... lainnya -

Masih mengagumi negeri Indonesia,para bapa bangsa, dan orang tua yang membesarkan saya; namun sedikit ragu dengan dengung perubahan dari mulut para opurtunis di Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pretel Tengah Malam Optimisme Bapak Profesor

20 Februari 2013   11:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:59 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasionalisme* mungkin punya sedikit kandungan kafein. Terbukti malam kemarin, alih-alih menggeluti 'sudoku' yang cukup adiktif, neo-cortex saya pun berletup-letup ria perihal bacaan malam dari koran kadaluarsa di pojokan kamar. Sedikit menjemukan, tapi berceloteh rasa 'res publica' setidaknya menghargai media kertas yang secara kebetulan saya beli.

Setelah membolak-balik barang usang ini, saya pun larut dalam sebuah artikel lawas.

Kompas (23/11/2012), Prof. Moh Mahfud MD. dalam rubrik opini berujar, "demokrasi kita memang becek dengan korupsi, tetapi kita punya modal yang sangat besar yang, kalau dirajut, bisa mengantarkan kita jadi bangsa besar."

Apa modalnya?

Rasa sosial yang tinggi terhadap sesama warga, walau pun elite kita berperilaku buruk, ungkap Mahfud.

Bisakah kita membersihkan 'becek' ίtu dengan modal besar tersebut?

Dengan bijak Mahfud menutup tuturannya dengan sedikit sentilan optimisme yang terejawantahkan­ dalam dua saran: 1) Penataan sistem perekrutan politik agar tampil elite pilihan nurani rakyat, dan 2) Pemerintahan dan kepemimpinan yang kuat, bukan berarti otoriter, tetapi tangguh dan efektif.

Pembacaan selesai. Namun, tidak butuh waktu lama, saya pun larut dalam ‘obok-obok imajiner’ picisan bertajuk nasionalisme —*bagi saya istilah ini mencakup ‘rasa prihatin atas kondisi bangsa’—.

Sekelebat teringat secuil rangkaian kata dari mantan perdana menteri Inggris, Winston Churchill, dalam sebuah pidatonya. "We shape our buildings, thereafter the buildings shape us,” katanya. Atau kira-kira terjemahannya, Kita 'membentuk' bangunan, setelah itu bangunan lah yang membentuk kita.

Sepotong kalimat tokoh international tersebut nampaknya masih punya ikatan darah dengan kesimpulan bapak Mahfud.

Layaknya bangunan, komunitas manusia merupakan manifestasi idealisasi masa sebelumnya. Manusia terdahulu membentuk komunitas dengan berbagai macam pranata yang keharusannya kemudian niscaya terinternalisas­i dalam individu yang kemudian. Manusia membentuk masyarakat yang kemudian membentuk manusia baru. “We [necessarily] shape society, therefore society [necessarily] shapes our new generation.” Ya, teoritikus Antropogi sudah banyak yang mengungkapkannya.

Dengan menumpang berpijak pada ocehan itu, bolehlah tuturan bijak bapak Mahfud saya preteli dengan centil dalam beberapa poin:

1) Kesosialan kiranya sudah melembaga atau mengutip sebuah tajuk reklame, sudah jadi tradisi dari generasi ke generasi. Istilah gotong royong, misalnya, jadi saksi tuntutan nilai sosial manusia Indonesia.

2) Sementara di Indonesia, becek korupsi juga sudah sebegitu dalamnya terinternalisas­i dalam sistem di berbagai bidang hidup. Mencicipi becek di kubangan sistem yang korup seringkali jadi ketidakharusan yang pada akhirnya terharuskan. Bahkan boleh dikata, korupsi termutakhir sudah jadi suatu bentuk kesosialan tersendiri. Lahir dan bertumbuh dalam lingkungan yang korup, kurang lebihnya menghasilkan kecenderungan yang korup.

3) Baik kesosialan negatif (dalam tafsiran saya) maupun kesosialan dalam arti yang sebenarnya merupakan sesuatu yang bukannya tanpa determinasi. Ίτu tetaplah pilihan. Anak kecil yang mengingini sesuatu pun tahu, melalui serangkaian peringatan simultan orang tuanya, mana cara yang 'baik' dan mana yang 'buruk' untuk bisa medapati inginnya.

Pada akhirnya, saya mereka-reka, tawaran bapak Mahfud menjadi suatu 'maxim'. Optimisme untuk menata sistem perekrutan politik dengan elit buah nurani rakyat demi terwujudnya pemerintahan dan kepemimpinan yang kuat, tangguh dan efektif itu jadi keharusan.

Api optimisme itulah yang kiranya perlu dijaga cahayanya. Cahaya yang bisa menerangi kegelapan di pelupuk mata manusia Indonesia, sehingga terang benderang lah, mana yang becek dan mana yang tanpa noda.

Itu seruan moralnya. Itu yang seharusnya. Bukan begitu pak?

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun