Pada malam medio 31 Desember menjelang 1 Januari, hingar bingar suasana yang diisi sorakan dan tawa bahagia nan renyah serta selebrasi kehangatan rasa haru kiranya sudah menjadi tradisi universal. Inilah penanda termutakhir dimana manusia menyadari ke-me-waktu-an-nya. Dalam kesadaran akan waktu, pesta ini menandai berakhirnya suatu masa terdahulu yang sekaligus menandai harapan akan kebaruan di masa datang.
Gegap gempita perayaan pergantian tahun baru konon kabarnya masih menjadi sesuatu yang asing di Indonesia pada awal paruh ke dua abad ke-20. Nikolas Driyarkara, seorang filsuf Indonesia, mengungkapkan, pada masa itu perayaan pesta nan semarak dengan suasana ajaib dan mengandung rahasia tersebut masih khas “Barat”. Ya, pada masa itu masih sedikit warga di tanah air yang merayakannya.
Apa sebenarnya yang terjadi pada malam itu?
Driyarkara mengungkapkan, pesta dan suasana yang nampak itu ternyata hanyalah akibat dari suatu kejadian. Kejadian itu tak lain dimana matahari sebagai bintang yang terdekat dengan bumi telah dikitari sebanyak sekali putaran oleh bumi yang juga berputar pada sumbunya. Perputaran bumi mengitari matahari yang dihitung dengan perputaran bumi atas sumbunya sendiri (sebanyak 365 kali) itulah yang disebut dalam satuan perhitungan ‘tahun’. Jadi pada saat itu perputaran mengitari matahari selesai dan terhitung satu tahun, dalam sistem penanggalan matahari. Itu ekuivalen dengan bumi yang telah berputar 365 kali atas sumbunya sendiri. Namun, bagi Driyarkara dalam peristiwa itu, ‘tidak ada yang baru’.
Lantas, mengapa manusai berpesta dengan bercampur rasa haru dan bahagia pada saat pergantian tahun? Apa yang merasuki kesadarannya? Tentunya bukan perputaran bumi! Lalu apa yang disadari manusia pada saat itu? Apa arti ucapan “Selamat Tahun Baru”? makna apa yang memprakarsai daya suasana yang melatarbelakangi pesta pergantian tahun. Apakah Yang Terjadi?
Driyarkara, dalam karangannya yang diambil dari majalah Basis, Tahun III, Januari 1954 (hlm. 109-113, dimana ia menggunakan nama samaran Puruhita, yang artinya cantrik), menemukan bahwa kebiasaan merayakan “Tahun Baru” merupakan indikasi bahwa manusia menginginkan kebahagiaan untuk masa depan. Inilah alasan mengapa pelukan atau jabatan tangan yang diiringi ucapan selamat kiranya menjadi layak. Tak lain, yakni untuk dapat saling berharap dan berdoa bagi kebahagiaan. Untuk memahami ungkapan ‘selamat' atas pergantian tahun, marilah sedikit kita menyelami sekelumit refleksi filsuf kita ini.
Menyadari Waktu: Menyadari Diri
Sudah menjadi kesadaran bahwa manusia berada dalam waktu, terkurung oleh waktu, tetapi dalam pada itu juga mengatasi waktu. Dan oleh karena ia mengatasi (transendent) waktu, ia pun dapat bermenung tentang waktu.
Dengan kata lain, manusia sadar akan waktu. Ia sadar akan ‘yang lalu’ dan ‘yang akan datang’. Kedua bagian dari waktu itu masuk ke dalam kesadaran melalui ‘saat sekarang’ yang kita alami. Persatuan ini hanya mungkin karena manusia memiliki satu prinsip atau dasar yang mempersatukan ‘yang lalu’ dan ‘yang akan datang’ dalam suatu persatuan (synthesis) yang kita sebut ‘saat sekarang’. Prinsip ini terkait dengan jiwa rohani, sifat kerohanian manusia.
Pada hakikatnya synthesis ini yang kita sebut pengalaman diri. Jiwa manusia melalui kerohaniannya mengalami diri sendiri. Sekaligus, jiwa manusia itu juga lah jiwa yang menjiwai badan manusia.
Sementara manusia adalah roh, ia sekaligus juga sesuatu yang berbadan. Jika sebagai roh manusia mengalami dirinya sendiri atau sadar akan dirinya sendiri, maka sebagai sesuatu yang berbadan manusia mengalami diri sendiri sebagai senantiasa berubah, sebagai sesuatu yang terus-menerus ‘menjadi’.
Jadi pada dasarnya, pengalaman waktu atau pengalaman ‘saat sekarang’ ialah kesadaran akan diri sendiri sebagai sesuatu (barang-yang-ada) dan sekaligus yang terus-menerus berubah.
Menyadari Diri sebagai Sejatinya: Kehausan akan Kebahagiaan
Manusia dalam keadaan yang biasa tentulah senantiasa sadar akan dirinya sendiri. Dalam setiap aksinya termuat pengakuan: Akulah yang beraksi. Akan tetapi, meskipun manusia selamanya sadar akan dirinya sendiri, kesadaran ini tidak senantiasa tampak dengan jelas kepadanya. Ini hanya terjadi jika manusia dengan sengaja mengamatinya, atau jika suatu peristiwa seakan-akan dengan sendirinya menyebabkan refleksi (pemandangan atas diri sendiri). Peristiwa seperti kecelakaan, ulang tahun, dan juga pergantian tahun akan membawa suatu refleksi atas diri sendiri mengenai ‘yang sudah lalu’ dan ‘yang akan datang’.
Manusia (atau isi kesadarannya) di saat pergantian tahun sebenarnya mengalami diri sendiri sebagai sejatinya. Dengan kata lain, manusia melihat dirinya sendiri sebagai kehausan akan kebahagiaan, walau pun pada saat yang sama, ia juga melihat adanya kemungkinan ancaman. Dalam hal ini, tak dapat dipungkiri bahwa dalam setiap perbuatannya manusia bermaksud untuk mencapai kebahagiaan (bahkan bunuh diri sekali pun).
Dalam refleksi, manusia tidak saja mengerti dirinya sendiri sebagai kehausan akan bahagia, melainkan juga merasa bahwa ia mau tidak mau harus mengejar rasa bahagia. Kebahagiaan ini tentunya merupakan kebahagiaan sesuai dengan kodrat manusia, bahagia yang sejati, bahagia rohani. Inilah sebab adanya rasa haru dan rasa serba kekurangan dalam hidup.
Kewajiban akan kebahagiaan
Sudah dijelaskan sebelumnya, manusia menemukan dirinya sebagai roh dan juga sekaligus sesuatu yang berbadan. Karena kerohaniannya, ia dapat menempatkan dirinya di hadapan diri sendiri, sehingga ia dapat menguasai atau dapat menentukan dirinya sendiri. Di samping itu, karena unsur badaniah atau materialnya, ia menemukan dirinya sebagai ‘ada’ yang ‘terletak’ atau ‘terdampar’. Terletak atau terdampar berarti bahwa ia tidak menguasai dirinya sendiri. Inilah keajaiban manusia. Di satu sisi, ia melihat adanya sebagai suatu ‘nasib’ yang harus diterima. Akan tetapi di sisi lain, ia juga mendapati adanya sebagai nasib dimana ia bisa menentukan jalannya sendiri.
Lebih jauh, manusia seharusnya menentukan jalannya sendiri dengan cara yang senantiasa dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, manusia wajib untuk mencari kebahagiaan yang sesuai dengan kodrat rohaninya. Dan jika perlu, barang duniawi harus dikorbankan.
Namun dalam kenyataannya, manusia tidak selamanya setia terhadap kewajiban tersebut. Manusia juga dapat menjadi entitas yang bertentangan dengan pelaksanaan kebahagiaan manusia sebagai manusia. Banyak tingah lakunya yang yang dianggap mencari kebahagiaan, tetapi dalam hakikatnya berupa pengkhianatan terhadap dirinya sendiri, perusakan ketentraman dan kedamaian hati.
Tergerak ke arah kebahagiaan
Dalam refleksi atas diri juga termuat saat-saat di mana manusia menemui atau mendekati kebahagiaan. Dalamnya tampak kekuasaan manusia untuk melaksanakan cita-cita yang merupakan sifat kodratinya. Keinginan akan kebahagiaan yang bercampur dengan pengalaman 'mendekati kebahagiaan' pada waktu yang sudah lalu itulah yang menimbulkan rasa haru. Rasa haru akan diri sendiri dalam keadaan bahagia.
Di samping itu, manusia insaf akan terusnya perjalanan hidup. Ada atau hidup manusia, mau tidak mau, akan terus bergulir. Dalam proses ini, manusia sendirilah yang membuat keadaannya. Manusia yang menentukan. Akan tetapi, juga ada keharusan. Artinya dengan kemerdekaannya, manusia harus melaksanakan kesempurnaannya.
Kemungkinan Ancaman akan Kebahagiaan
Disamping penemuan diri sebagai ‘tergerak ke arah kebahagiaan’, manusia juga merasakan keyakinan akan kemungkinan mencapainya. Inilah 'harapan mendasar' yang terletak pada hati setiap manusia.
Di samping harapan tersebut, manusia juga merasakan kekhawatiran: Kekhawatiran akan adanya (hidupnya), akan hal-hal yang mengancam kemungkinan tersebut. Dengan kata lain, disamping mengerti akan dirinya sendiri sebagai kemungkinan untuk berbahagia, manusia juga menemukan kemungkinan untuk ‘tidak-berbahagia’.
Ada beberapa hal yang menjadi kekhawatiran manusia pada saat memandang dirinya sendiri. Pertama-tama, manusia, sebagai entitas yang terletak atau terdampar, dapat berhadapan dengan berbagai keadaan dan kejadian yang menimpa hidupnya—sama halnya dengan benda-benda yang ada di dunia ini, rapuh dan rentan—. Kemudian, dari pengalaman terbukti bahwa manusia seringkali tampak lemah berhadapan dengan godaan sehingga tidak setiap perbuatannya manusia dapat dipertanggungjawabkan. Manusia seringkali tidak setia terhadap kewajibannya, terhadap keluhurannya.
Keinginan akan kebahagiaan yang bercampur kekhawatiran, ketidakjelasan, pengalaman yang sudah lalu, dan kekaburan tentang pelaksanaan cita-cita yang muncul dari kodratnya merupakan penyebab utama adanya rasa haru, bimbang dan ragu yang mewarnai perayaan Tahun Baru. Inilah dasarnya, dimana pergantian tahun akan membawa suatu refleksi atas diri sendiri mengenai 'kebahagiaan' baik di 'masa lalu’ maupun di 'masa depan’.
Selamat Tahun Baru
Dengan demikian jelaslah, manusia menginginkan kebahagiaan untuk masa depan. Keinginan akan kebahagiaan ini juga bercampur dengan kekhawatiran akibat pengalaman yang sudah lalu dan kekaburan pelaksanaan cita-cita yang muncul dari kodratnya. Ini dasar hadirnya rasa haru, bimbang dan ragu yang mengisi makna perayaan Tahun Baru. Pergantian tahun niscaya membawa suatu refleksi atas diri sendiri mengenai ‘yang sudah lalu’ dan ‘yang akan datang’.
Oleh karena itu, dalam perayaan pergantian tahun sepatutnya lah manusia saling mengucap selamat. Karena pada saat itu ada rasa gembira. Gembira karena masih hidup. Sebab hidup pada saat itu bukan kecelakaan. Ini juga menandakan bahwa masih ada harapan untuk berbahagia. Masih hidup juga sekaligus berarti masih ada kemungkinan untuk menghadapi bahaya.
Akhir kata, peluk-memeluk atau berjabatan tangan yang diiringi ucapan selamat kiranya juga layak agar dapat saling berharap dan berdoa bagi kebahagiaan. Semoga apa yang kita dapatkan di tahun lalu memberikan harapan yang lebih besar akan kebahagiaan sejati di tahun baru. Selamat Tahun Baru.