Pacarku bilang aku 'jelek', tetapi sorot matanya membilang sebaliknya. Toh, hanya aku yang tahu seperti apa isi hatinya. Jelek katanya, tetapi aku suka dengan ungkapan itu. Lucu saja mendengarnya berkata demikian padahal dia demikian 'kesengsem' padaku.
Ketika kubaca sebuah artikel yang ditulis oleh M. Hari Atmoko di situs OaseKompas, 14 September 2012 tentang sebuah acara, "The 14th Merapi and Borobudur Senior’s Amateur Golf Tournament Competiting The Hamengku Buwono X Cup" di Magelang, tepatnya hari Minggu, tanggal 9 bulan September tahun ini. Tahukah kamu bila pada acara tersebut hadir juga sebuah kesenian tradisional jaran kepang yang ditampilkan oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung Magelang. Uuhh ... Acara yang meriah dan menggelegar dengan teriakan penonton.
Ada ironi menyertai acara tersebut, ketika seorang petinggi negeri pada acara tersebut, seorang elit berkata bahwa kesenian tradisional jaran kepang sebagai kesenian terjelek di dunia.
Tak perlu heran bila kemudian ramai reaksi dari berbagai kalangan seniman. Seniman penyair kondang, Sitok Srengenge, sampai-sampai membuat seri kekesalannya yang tertuang berturut-turut pada status updates di akun facebook-nya dalam beberapa hari berselang tentang hal ini, ia demikian kecewa.
"Sekadar info buatmu, Bit, jaran kepang ini adalah salah satu koleksi Tropen Museum di Belanda. Di sana jaran kepang yang kauanggap sebagai kesenian paling jelek sedunia itu justru disimpan, dirawat, dan dipamerkan kepada khalayak pengunjung dari seluruh penjuru dunia. Jelas lho, Bit, di situ ditulis bahwa benda seni itu terbuat dari bambu dan berasal dari Yogyakarta. Nah, kalau kamu malah melecehkennya, kan mbelgedhez tenan to kamu itu?" ujarnya.
Sorak sorai penonton yang hadir pada acara di sore hari tersebut sebenarnya mengabaikan perkataan petinggi tersebut, mereka semua malahan turut berteriak "jeleekk ...!", tetapi jangan salah kira dulu, bukan berarti tarian tradisional tersebut memang jelek. Mereka meneriakkannya dengan gelak tawa, bahkan sejumlah pegiat kesenian dan kebudayaan yang berpidato di panggung alam Studio Mendut, Magelang tak luput dari teriakan "jelek" yang kemudian disambut dengan tepuk tangan meriah.
Tak juga mereka menjadi tersinggung dengan sorak sorai penonton, mereka menyayangi kesenian tersebut sebagai bagian dari kehidupan mereka sendiri. Mereka tahu kata-kata itu lebih kepada sindiran pada seseorang.
Hidup selalu memberi warna-warni tidak selalu merah, tidak juga selalu hitam. Selalu ada nuansa pelangi menyertainya.
Bila bangsa-bangsa lain demikian mencintai kesenian tradisional mereka, menyaksikan pesona kesenian teater tradisional khas Jepang, Kabuki, sebagai warisan budaya nan agung dari bangsa dari negeri matahari terbit tersebut.
Demikian juga bila bila melihat acara tradisional "La Tomatina" di kota Buñol di dekat Valencia, Spanyol. Sejujurnya mereka mencintai sebuah kesenian bukan soal jelek atau cantik, karena kesenian menjadi jalan hidup sejak masa berselang di masa lalu. Menjadi bagian dinamis sebuah bangsa yang mencerahkan.
Petinggi di negeri ini, nyaris semua berbicara mainstream benar sendiri, seolah-olah mereka menjadi panutan, tetapi rakyat melihat banyak kejanggalan menyertainya. Negeri yang terkesan salah urus, petingginya pun suka salah cakap.
Terkenang di masa kecil saat aku menonton acara kesenian jaran kepang di kotaku yang kecil di Kalimantan, selalu ada gejolak menyaksikannya. Penari bergerak lincah menggerak-gerakkan kudanya, tertawa kecil, kenapa kudanya bisa digendong? Penari perempuan menghias diri dengan bedak pupur tebal, ah … Selalu ada pesona magis tak terkira menyertainya!
Pacarku bilang aku jelek, apakah aku kemudian membencinya. Biarkan petinggi negeri yang berkubang dalam kebenaran menurut versinya sendiri. Kekasihku selalu cinta aku, dan aku percaya itu. Jelek atau cantik. Seperti kata orang-orang seberang asal Medan, “Cinta malabab ...!” Kalau sudah cinta, emang masalah buat elo! Kan, aku tidak harus bilang Wow!