Ini kali kedua tulisan soal bioskop. Sebuah refleksi akan pentingnya bioskop yang pernah ada di Aceh. Ya, bioskop pernah ada Aceh sampai saat satu demi satu tutup. Kini, kehadiran bioskop masih dinantikan meski ada pro dan kontra. Itu hal wajar di alam demokrasi, apalagi Aceh kini berstatus daerah syariat Islam.
Secara historis, bioskop di Aceh bukan hanya ada di Banda Aceh. Beberapa kabupaten/kota di Aceh pernah memiliki bioskop. Gajah Theater, Merpati Theater, Garuda Theater, Banda Theater, Puspa serta Pas 21, adalah bioskop yang pernah ada di Aceh. Bahkan Gajah Theater Banda Aceh sudah ada sejak zaman Belanda, dahulu namanya Atjeh Bioscop. Kemudian berganti nama Eiga Heikyusya di masa penjajahan Jepang.
Semasa kuliah, saya kerap hadir ke bioskop setidaknya seminggu sekali. Pada saat itu harga karcis sangat terjangkau bagi mahasiswa. Biasanya saya pergi sendiri setelah keluar ruang kuliah. Jadi, bagi saya tidak ada hal aneh ketika menonton di bioskop apalagi pelanggaran syariat.
Menonton film di bioskop memang beda. Sensasinya tetap beda dengan menonton di laptop atau gadget. Bahkan pihak bioskop berkeliling untuk mengumumkan dengan mobil apabila ada film baru. Seingat saya ada 3 waktu penanyangan, siang sore dan malam. Sayangnya masa-masa indah bioskop kini telah berakhir.
Jika teman-teman yang cukup uang, biasanya mereka terbang ke Medan, Sumatera Utara. Jutaan harus dihabiskan hanya untuk menonton sebuah film. Padahal bila bioskop kembali hadir, bukan hanya PAD yang bertambah melalui pajak, pendapatan masyarakat sekitar akan meningkat. Lalu mengapa bioskop tidak lagi hadir di Aceh, mengapa izin pendirian bioskop terasa sukar didapatkan.
Dari amatan saya, dasar sulitnya bioskop kembali ada ialah syariat Islam. Menurut mereka yang kontra, bioskop membuka ruang terjadinya pelanggaran syariat Islam. Meski wacana biosokop yang memisahkan laki-laki dan perempuan telah disuarakan. Namun pihak yang kontra seolah tak bergeming. Mereka tetap menganggap bioskop rawan terjadi maksiat.
Jika mau jujur, pelanggaran terbesar syariat Islam di Aceh justru terjadi di kantor pemerintahan. Korupsi dan suap di perkantoran setiap tahunnya terjadi, anehnya perbuatan itu tidak dianggap maksiat. Padahal korupsi bukan hanya merugikan daerah namun merugikan orang banyak. Toh maksiat dapat dilakukan di mana saja bukan hanya di bioskop.
Stigma negatif akan bioskop seolah melupakan fakta bahwa perkantoran sarang maksiat. Persoalan bioskop membuka ruang maksiat sejatinya mudah diantisipasi. Seperti wacana pemisahan penonton laki dan perempuan, regulasi lainnya dapat dilakukan pemerintah daerah bagi investor. Bukankah negara bersyariat Islam seperti Arab Saudi dan Brunei memiliki bioskop. Aceh dapat mencontoh mereka apabila alasannya pelanggaran syariat Islam.
Itulah mengapa argumen bioskop sebagai tempat baru bermaksiat tidaklah logis. Bioskop sejatinya dapat menjadi 'teater' belajar. Misalnya ketika bioskop menanyangkan film bernuansa heroik kedaerahan maupun Islam. Para sineas Aceh selama ini kesulitan finansial saat ingin melakukan pemutaran karyanya. Mereka harus ke medan dan memakan biaya yang tidak sedikit.
Bioskop dengan sendirinya akan menggairahkan sineas Aceh untuk berkarya. Mereka akan lebih semangat mengahdirkan film-film sejarah kepahlawanan di Aceh, serta film-film yang mengedukasi lainnya yang dengan mudah dapat diakses banyak orang apabila bioskop hadir di Aceh. Jangan sampai menonton film pahlawan dari Aceh harus ke Medan, dan menghabiskan biaya jutaan.