Berdasarkan surat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif, bertanggal 17 Juni 2020, yang dikirimkan kepada Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), Aceh berhak mengelola minyak dan gas bumi Blok B di Aceh Utara melalui PT. Pembangunan Aceh (PEMA).Â
Blok ini sebelumnya dikelola Mobil Oil (belakangan menjadi ExxonMobil) sebelum kemudian pengelolaan dialihkan ke PT Pertamina Hulu Energi (PHE). Sejak 1976 Aceh sangat menginginkan Blok Migas itu dapat dikelola sendiri.
Setelah melalui perjuangan panjang, akhirnya penantian 44 tahun pun terwujud. Blok ini disebut-sebut sebagai salah satu pemicu lahirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) meski kemudian konflik vertikal itu lebih rumit lagi.Â
Blok B selama ini mampu menghasilkan 20-30 standar kaki kubik per hari. Tentu saja PT PEMA harus serius mengelola hasil perjuangan yang panjang ini.
Media sosial pun kian ramai mendengar berita pengelolaan Blok B di Aceh Utara dikelola sendiri oleh Aceh. Nada mereka negatif, mereka pesimis pemerintah Aceh dalam hal ini PT PEMA akan mampu mengelola Blok itu.Â
Namun saya optimis PT PEMA dapat melakukan tugasnya dengan baik dan akan menguntungkan Aceh. Perusahaan yang didirikan berdasarkan Peraturan Daerah Istimewa Aceh Nomor 4 tahun 1994 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh itu memang butuh kesempatan.
Kesempatan mengelola Migas Blok B ini harus dijadikan bukti bahwa PT PEMA dan Pemerintah Aceh tidak main-main. Selain Blok B, Aceh masih memiliki Blok A serta di beberapa kabupaten/kota terindikasi terdapat minyak dan gas bumi. Itu artinya kesuksesan mengelola Migas di Blok B akan menentukan nasib Migas lainnya, termasuk masa depan Aceh secara umum.
Pemerintah Aceh harus memanggil kembali putra/i Aceh lulusan tekhnik perminyakan dan pertambangan yang kini memilih keluar Aceh karena pemerintah Aceh gagal menyediakan lapangan kerja untuk mereka. Beberapa di antara mereka adalah penerima beasiswa pemerintah Aceh, mereka lulusan universitas luar negeri.Â
Pada pemerintahan Irwandi-Nazar, pemerintah Aceh memang memiliki program yang memberikan beasiswa S-2 dan S-3 ke luar negeri dari berbagai disiplin ilmu.Â
Namun kemudian setelah mereka lulus, pemerintah Aceh gagal menyediakan lapangan bagi mereka. Akhirnya mereka direkrut perusahaan-perusahaan nasional maupun internasional.