Demi pelayanan yang terbaik, para pengusaha sangat mengenal istilah 'pelanggan adalah raja'. Namun dalam perjalanannya istilah ini kerap diabaikan apalagi bila perusahaan tersebut sudah berada dalam titik yang dianggap aman. Kelengahan bahkan kelalaian kerap dilakukan produsen barang maupun jasa.
Di Indonesia kasus mengeluhnya pelanggan sering dianggap sepele. Hubungan simbiosis mutualisme yang harusnya dipertahankan, kini kerap diabaikan. Akibatnya banyak pengusaha yang harus memulai dari nol lagi. Saya banyak temukan kasus produsen yang menganggap remeh konsumen.Â
Mereka lupa konsumen saat ini memiliki banyak pilihan. Apabila produsen barang/jasa mengabaikan prinsip simbiosis mutualisme, konsumen akan mencari produsen lain yang mau menerapkan prinsip simbiosis mutualisme. Dalam interaksi ini tidak ada raja dan bawahan namun sama-sama menguntungkan.
Dalam bisnis prinsip ini penting diterapkan agar tidak ada pihak yang dirugikan. Bukan hanya rugi secara materi namun immateri. Pelayanan kepada pelanggan di era kompetitif harusnya menyadarkan para produsen, seratus calon pembeli bisa hilang dalam sekejap apabila pelanggan dikecewakan. Produsen harus sadar bahwa mencari pelanggan itu sulit.
Boleh jadi seorang konsumen datang namun belum tentu ia datang kembali. Konsumen yang datang kembali ini yang sulit didapat. Sebabnya mereka sedang melakukan seleksi, di mana produsen yang benar-benar memahami kebutuhan mereka. Ketika mereka sudah puas dengan pelayanan produsen, cenderung mereka akan kembali lagi. Mereka menjadi pelanggan dari produk/jasa yang disediakan produsen.
Pada titik inilah para produsen sering lengah. Memang yang paling sulit itu mempertahankan apa yang telah didapat. Saya ambil contoh bisnis warung kopi di Aceh. Ada beberapa warkop yang dulunya disesaki pelanggan, lambat laun ditinggalkan pelanggan. Ada juga warkop yang tidak berinovasi namun pelanggan tetap setia. Inovasi yang saya maksud mereka tidak ikut arus menggunakan fasilitas internet sebagaimana warkop lain.
Faktanya mereka masih diminati. Dalam ini mereka sukses menerapkan simbiosis mutualisme pelanggan dan penjual. Namun ada pula warkop baru yang sempat disesaki pengunjung namun ditinggalkan meski memiliki tempat dan fasilitas terkini dan mewah. Para pelanggan biasanya kecewa dengan pelayanan dan mutu produk mereka. Karena sudah ramai pengunjung mereka asal saja meracik kopi. Akibatnya pelanggan yang butuh suasana dan rasa kopi, merasa kecewa.Â
Saya tidak tahu apakah para penulis di Kompasiana dapat disebut pelanggan sekaligus produsen. Satu hal yang pasti beberapa waktu yang lalu saya baca artikel yang kontennya kecewa dengan manajemen kompasiana. Sebabnya K-Rewards yang dijanjikan kompasiana tidak ada kepastian. Pihak Kompasiana sendiri sebenarnya juga tidak bisa disalahkan karena mereka kerjasama dengan pihak lain.Â
Namun saya menilai pada titik itu kompasiana agak lengah. Meski penulis kompasiana banyak dan acara yang diselenggarakan wow akan tetapi dalam beberapa tahun belakangan ini sudah mulai muncul pesaing sejenis kompasiana. Bahkan media sejenis kompasiana dibangun oleh mereka yang pernah menulis di kompasiana. Okelah sekarang kompasiana masih unggul tapi siapa tahu ke depannya tinggal sejarah.
Tidak ada yang abadi karenanya kompasiana jangan sampai mengecewakan para penulisnya. Harus berinovasi dan konsisten dengan apa yang dijanjikan. Tidak boleh menganggap sepele keluhan para penulisnya. Dunia bisnis kita memang lemah dalam hal komitmen dan konsistensi. Pelanggan-produsen wajib menerapkan interaksi simbiosis-mutualisme agar keluhan pelanggan apalagi protes pelanggan dapat dicegah.