Setiap hari kita baca pernyataan-pernyataan politisi di media nasional maupun lokal. Bahkan sebatas cuitan di akun media sosial pun dikutip dan dijadikan berita. Itu wajar. Namun saya sedikit penasaran mengapa mereka jarang menulis di media, baik berupa esai maupun opini.Â
Mereka jarang, bahkan ada yang sama sekali tidak pernah mengunggah ide, gagasan, kritik, apalagi berbagi ilmu melalui tulisan di media online maupun cetak.
Padahal mereka publik figur yang akan ditiru oleh masyarakat. Jika mereka rajin menulis, pastilah orang-orang yang kagum pada mereka akan ikut menulis. Saya kemudian mencari tahu sebabnya.
Ada beberapa jawaban yang saya dapati, namun saya belum puas. Bahkan secara rasional sulit diterima. Misalnya ada yang mengatakan mereka terlalu sibuk; jangankan menulis, istri/suami maupun anak mereka saja jarang mendapat perhatian. Saya tidak terima alasan ini.Â
Bagi saya, mereka tokoh publik yang sangat paham dan mampu dalam manajemen waktu. Mereka cukup mumpuni menyiasati waktu sehingga kesibukan bukanlah kendala. Karenanya, alasan ketiadaan waktu bukanlah jawaban rasional.Â
Tentu saja alasan itu juga tidak diterima Soekarno, Hatta, Gus Dur, dan sederet tokoh-tokoh yang rajin menulis di masa lalu. Mereka yang gagasan dan pemikirannya menjejali koran dan majalah nasional bahkan luar negeri. Mereka yang rajin mencerdaskan anak bangsa melalui tulisan-tulisan.
Menjadi miris bila politisi hari ini lebih mementingkan elektabilitas instan. Padahal bila mereka benar-benar tulus ingin melakukan perubahan bagi Indonesia, menulis adalah salah satu caranya. Melalui politik melakukan perubahan konkret, sedangkan tulisan mengubah pola pikir masyarakat.
Kedua hal di atas dapat dilakukan politisi secara bersamaan, sebagaimana dicontohkan pendahulu mereka. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa Gus Dur hanya butuh waktu 2 jam untuk menyelesaikan sebuah esai dengan mesin tik. Padahal menggunakan mesin tik membutuhkan kehati-hatian tingkat, tinggi tidak sama dengan komputer atau smartphone.
Pertanyaannya, benarkah dalam seminggu atau sebulan tidak tersedia dua jam untuk menuangkan gagasan dan pemikiran dalam bentuk tulisan? Saya kira mustahil tidak tersedia kecuali memang malas. Apalagi saat ini menulis dan mengirimkan artikel dapat menggunakan smartphone; very easy.
Itu artinya para politisi yang dalam sebulan tidak menulis artikel pantas malu. Mereka seolah tidak pernah membaca sejarah para pendiri bangsa. Dengan kesederhanaan alat menulis pada saat itu, namun dapat berkarya. Mereka membagikan pemikiran-pemikiran yang diwariskan kepada kita.