Akhirnya Prabowo mengajukan gugatan ke MK. Aksi damai selesai dan rekonsiliasi tampaknya bakal terjadi. Bila benar maka Indonesia kembali dipimpin Jokowi. Para pendukung Prabowo masih yakin menang, saya dan anda barangkali berpikir sama, Prabowo mustahil menang di MK.
Realitas politik hari ini nyaris mirip 2014. Sebab pada akhirnya Prabowo akan kalah di MK. Yang menjadi pertanyaan, mengapa Prabowo ajukan gugatan ke MK sementara hasilnya pasti kalah?
Menurut saya, ada dua faktor, yakni internal dan eksternal. Faktor internal yang saya maksud ialah bujukan sekeliling Prabowo. Mereka mengatakan kepada Prabowo soal peluang menang di MK.
Meski Prabowo tak yakin, namun mereka terus meyakinkan Prabowo. Dorongan dari internal, termasuk partai koalisi yang sudah 'lari', sulit ditolak Prabowo. Mereka pasti akan mendapat 'kue' kekuasaan dari Jokowi atas jasa tersebut.
Sementara faktor eksternal yang saya maksud ialah dorongan dari SBY maupun suasana kisruh 21-23 Mei 2019. Dalam hal ini, Prabowo tak ingin jatuh korban lagi.
Kedua faktor di atas cukup masuk akal, realistis, dan patut dijadikan catatan sejarah. Meski bagi saya kedua hal itu biasa-biasa saja.
Begitulah politik, selalu diakhiri dengan kompromi para elite. Tentu saja kita wajib bersyukur atas kompromi tersebut. Setidaknya para pendukung kedua capres tak perlu ngotot lagi, 'sandiwara' politik sudah usai. Beberapa elite sudah dipastikan mendapat kekuasaan. Besar-kecil, tergantung jasanya.
Lalu apa yang didapat Prabowo? Barangkali, selain catatan selalu gagal, ia akan mendapat gelar negarawan karena mau mengakui kekalahan. Pujian dari SBY, Habibie, maupun tokoh-tokoh bangsa lainnya akan mengalir pada Prabowo. Saat ini, ending kisah politik nasional sudah bisa ditebak hasilnya. Dan para elite sudah mulai berpikir 2024.
Lompatan AHY yang terus melobi Jokowi, manuver elite-elite Demokrat, serta ucapan-ucapan liar elite merupakan 'bumbu' dari politik nasional. Rakyat yang sempat disuguhi propaganda sudah mulai sadar, bahkan Habib Rizieq Shihab sudah tak lagi bersuara. Komunikasi elite di belakang rakyat terus terjadi. Mereka seolah berseteru, namun faktanya mereka saling 'cium' di belakang.
Bagaimana dengan 'korban' 21-22 Mei? Sejauh ini hanya belasungkawa yang mereka dapat. Investigasi dibentuk hanya untuk meredam aksi lanjutan. Pada akhirnya semua akan lelah dan menyerah, sebagaimana kasus Novel yang hingga kini belum tampak 'hilalnya'.