Ketika saya menuliskan artikel berjudul Mahfud MD Jangan Hina Aceh, saya belum membaca twit klarifikasi dari Mahfud MD. Ternyata dasar yang digunakan Mahfud MD menunjukkan ilmu sejarahnya tak lebih baik dari saya.
Mahfud MD menganggap GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dari Aceh sebagai gerakan Islam garis keras. Selain itu, ia juga menganggap PRRI sebagai gerakan serupa dengan GAM, Islam garis keras. Setidaknya begitu ia menjawab twit-twit yang mengkritisinya.
Dengan begitu kita semua paham, Mahfud MD memang kurang membaca buku sejarah. Kalaupun ada, ia hanya membaca tanpa pemahaman yang kemudian dapat menjadi pengetahuan bagi orang lain. Mahfud MD ingin dianggap bijak, sayang ia dipengaruhi kepentingan politik.
Diksi yang digunakan Mahfud sejatinya tidak masalah seandainya ia memaknai Islam garis keras dengan konotasi positif. Sayangnya Mahfud tergoda memaknai diksi tersebut dengan dalil yang salah. Kita sebaiknya memahami, keahlian Mahfud memang bukan sejarah.
Lalu haruskah kita berlama-lama dan beramai-ramai menghujat Mahfud MD? Sebaiknya jangan. Mengapa? Secara psikologis, Mahfud MD merupakan tokoh yang frustrasi karena gagal jadi cawapres Jokowi. Semua kita hendaknya paham bahwa Mahfud MD butuh peran dalam perpolitikan nasional.
"Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, kemudian Allah mempersatukan hatimu, lalu jadilah kalian orang-orang yang bersaudara, karena nikmat Allah." (QS. Ali imran: 103)
Islam menganjurkan kita untuk bersatu, meski ada dari kita yang sudah salah paham. Mahfud MD, sekalipun seorang tokoh dengan gelar seabrek, tetaplah manusia yang dapat khilaf. Sebagaimana dengan kita semua, kita kerap melakukan kesalahan yang disadari atau tidak.
Umat Islam di Aceh, Sumbar, Jawa Barat, Madura, Sulawesi, maupun di daerah-daerah Jokowi kalah, hendaknya mau memaafkan Mahfud MD. Yakinlah, memaafkan Mahfud MD akan lebih memuliakan kita ketimbang menghujat dan mem-bully.
Benar, memaafkan itu ibarat memindahkan gunung atau bukit. Sulit sekali, apalagi kesalahan yang dilakukan terkait dengan hinaan suku, agama, ideologi, serta hal-hal pribadi lainnya. Namun, Nabi pernah mengatakan:
"Barangsiapa yang didatangi saudaranya yang hendak meminta maaf, hendaklah memaafkannya, apakah ia berada di pihak yang benar ataukah yang salah; apabila tidak melakukan hal tersebut (memaafkan), niscaya tidak akan mendatangi telagaku [di akhirat]." (HR Al-Hakim)