Money politics kerap menjadi 'racun' demokrasi. Dampaknya perlahan namun pasti menciptakan masyarakat pamrih, memahalkan biaya politik yang ujung-ujungnya memaksa orang baik tersingkir dan 'penjahat' demokrasi menjadi juara. Faktanya, serangan fajar jelang pencoblosan selalu terjadi. Barangkali modusnya kian ciamik meski masih ada yang tradisional. Kasus tertangkapnya kader Partai Golkar (Bowo) barangkali bukan hal aneh dan baru dalam perpolitikan kita.
Bowo hanya sial dibandingkan politisi lain yang sedang menyiapkan uang cara distribusinya. Pada pileg 2014 praktik jual beli suara jelang pemilihan masih terjadi, bahkan pada pilkada serentak serangan fajar masih menjadi andalan. Percaya atau tidak, kini pemilihan kepala desa sekalipun sudah menggunakan serangan fajar. Bila kandidat A memberi 100 ribu sementara kandidat B memberi 200 ribu, biasanya suara berbalik ke kandidat B. Barangkali di perkotaan serangan fajar tidak semeriah serangan fajar di desa-desa.Â
Serangan fajar juga bergantung pada tingkat kemakmuran sebuah daerah dan sebuah desa. Semakin banyak pengangguran dan kemiskinan, semakin banyak serangan fajar terjadi. Kini modusnya bukan hanya uang cash namun menggunakan e-money, transfer, selain sembako. Menurut pantauan saya, serangan fajar masih efektif mengubah perolehan suara. Menurut para penerima, setidaknya kita bisa nikmati uang caleg, toh kalau sudah terpilih mereka lupa.Â
Tarif pun di naikkan berdasarkan kebutuhan caleg. Agen-agen suara di setiap desa biasanya akan memasang tarif. Kali ini caleg malah menggunakan uang capres yang didukungnya. Sambil menyelam minum air, pemilu serentak sedikit meringankan bila caleg-caleg tersebut pintar. Bukan mustahil Bowo mendapatkan uang dengan cara tersebut, KPK sebaiknya telusuri dari mana Bowo mendapatkan uang tersebut.
Jokowi maupun Prabowo saat ini sedang dilirik bohir politik. Mereka siap menyumbang untuk serangan fajar, tentu saja dengan deal-deal yang disepakati. Apalagi perolehan suara kedua sangat tipis, serangan fajar bisa mengubah golput, maupun undecided voters. Bahkan pendukung mereka yang tidak fanatik akan berbalik arah bila uang bicara di 17 April mendatang. Jadi siapa bilang serangan fajar tidak berefek, siapa bilang serangan fajar tidak meracuni demokrasi.
Lalu bagaimana Jokowi atau Prabowo menggunakan serangan fajar agar menang dalam pilpres. Tim pemenangan mereka yang licik dan culas pasti akan memanfaatkan momen pemilu serentak. Kebanyakan pemilih lebih fokus ke pilpres sehingga seleksi caleg-caleg baik tidak sempat dilakukan. Dalam kesempatan inilah caleg yang sukses merayu tim pemenangan capres untuk mendapatkan uang dan pemilih. Kedua capres menurut saya akan memaksimalkan serangan fajar melalui caleg-caleg mereka di daerah-daerah. Angkanya akan bervariasi, bahkan caleg yang sudah berpengalaman malah akan menyuap aparat negara.
Lalu bagaimana meminimalisir serangan fajar? Selain kesadaran pemilih, peran tokoh adat, agama, serta TNI/Polri sangat dibutuhkan. Dengan harapan mereka tidak ikut-ikutan terima uang maka praktik serangan fajar dapat diminimalisir. Harus diakui bahwa usaha ini sangat sulit, serangan fajar sudah mengakar seperti korupsi. Namun dengan usaha bersama semua masih mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H