Mohon tunggu...
Don Miguel
Don Miguel Mohon Tunggu... -

Cool Calm Confidence Controversial

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Korupsi Di Indonesia Dari Sudut Pandang Seorang Kaum Marjinal

20 Februari 2012   07:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:26 1322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13297167711804459180

[caption id="attachment_163904" align="alignnone" width="461" caption="Fake Trend"][/caption] Korupsi banyak dianggap sebagian orang sebagai bagian dari eksistensi kehidupan, korupsi merupakan tuntutan keberhasilan hidup. Jika demikian, apakah korupsi bagian dari kehidupan yang beradab? Sebab ada yang mengatakan jika tidak mengikutinya maka akan teralienasi ataupun tereliminasi dari komunitas, kehidupan. Adam Smith mendeskripsikan, bahwa naluri manusia ialah membutuhkan fellow feeling.  Manusia tidak mungkin melakukan sesuatu sendirian dan bertahan lama jika tidak didukung oleh kesamaan rasa. Tampak hal itulah yang membuat adanya perilaku pasar, dengan perkataan lain munculnya perilaku kolektif korupsi, penyuapan, dan pembajakan. Perilaku itu dilakukan secara bersama-sama dan terus menerus hingga ada yang menganggapnya sebagai bagian dari kewajaran. Oleh karenanya juga dianggap sebagai bagian dari kebudayaan. Benarkah itu sebuah kebudayaan? Pertanyaan tersebut secara sederhana dapat dijawab dengan merujuk pada konsep yang dikemukakan Prof Van Peursen mengenai 3 tahap dalam kebudayaan untuk contoh di Indonesia yaitu tahap mistis, tahap ontologis, dan tahap fungsional. Pada tahap mistis sikap manusia yang merasa dikepung oleh kekuasaan-kekuasaan gaib di sekitarnya dan dirasakan sebagai sesuatu yang kuat nan dahsyat dimana kehidupan manusia sangat tergantung padanya, sehingga manusia harus membuat penguasa-penguasa tersebut tentram dengan cara mengasumsikan mereka seperti manusia yakni apabila diberikan/dipersembahkan sesuatu maka para penguasa gaib akan senang. Kehidupan manusia pun juga tentram. Jelaslah bahwa pada tahap mistis, perilaku korupsi yang dilakukan bukan karena ada keyakinan terhadap kekuatan mistis sehingga bukan merupakan bagian dari tahapan kebudayaan yang pertama ini. Pada tahap ontologis, sikap manusia  tidak lagi hidup dalam rasa kepungan kekuasaan mistis, melainkan secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Ada kalanya ketidakberhasilan terhadap yang mereka yakini tadi, membuat manusia berpikir keras. Setelah itu ada yang menyadari,  bahwa dulu yang dirasakan sebagai kepungan kekuasaan gaib tak sepenuhnya benar. Pada fase inilah manusia mulai mengambil jarak terhadap kekuasaan gaib, dengan kata lain manusia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakekat segala sesuatu (ontologi) dan mulai menelaah secara lebih dalam (ilmu). Dengan begitu, apakah perilaku korupsi memiliki dasar ontologis serta keilmuan yang jelas? Bukankah kita belum pernah menjumpai adanya ilmu korupsi atau ilmu penyuapan diajarkan di bangku sekolah, diajarkan oleh nenek moyang atau oleh hukum adat? Dengan demikian pada tahap ontologis pun, perlikaku korupsi juga tidak masuk dalam tahap ini. Pada tahap fungsional, sikap dan alam pikiran yang makin nampak setelah mengalami fase ontologis. Manusia tidak lagi selalu bersikap mistis dan juga ontologis, melainkan mulai ingin mengadakan keterpautan terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya. Manusia mulai mencari jalan-jalan baru terhadap masalah-masalah lama sesuai konteks yang melingkupinya. Tahap inilah yang sedang marak berlaku dewasa ini. Walaupun diakui ada nilai-nilai universal yang positif, tetapi keterpautan dengan lingkungan acapkali menjadi pembenaran (justifikasi) terhadap pelanggaran yang positif dan lebih parah lagi dianggap sebagai bagian dari kebudayaan. Dari pemaparan ketiga tahap kebudayaan yang diarahkan pada konteks perilaku di negeri ini, hanya pada tahap fungsional terdapat perilaku korupsi. Perilaku tersebut relatif menunjukkan bukan bagian dari kebudayaan, tetapi lebih kepada hasrat manusia yang egois (self-interest /selfish), keharmonisan alam pun tak lagi diperhatikan pada tahap fungsional ini. Sebagian orang menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya dan telah merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa, sebagian lagi menyatakan bahwa korupsi belum mebudaya walaupun harus diakui korupsi telah sangat meluas. Indonesia memiliki reputasi yang buruk dari segi korupsi dan menjadi salah satu negara terkorup di dunia, korupsi di Indonesia memiliki akar panjang kebelakang yaitu sejak jaman VOC sebelum tahun 1800 dan praktek itu berlanjut sampai masa-masa pasca kemerdekaan (Bank Dunia, 2003:42). Dari masa inilah Indonesia mewarisi praktek-praktek seperti membayar untuk mendapatkan kedudukan di pemerintahan, mengharapkan pegawai-pegawai menutup biaya di luar gaji dari gaji mereka dan lain-lain. Pada masa ORBA 1967-1998, dukungan kepada pengusaha-pengusaha besar dan membangun konglomerat-konglomerat baru serta memberikan kemudahan-kemudahan fasilitas sampai dengan mempengaruhi politisi dan birokrat sudah menjadi praktek  yang wajar. Sejak runtuhnya ORBA, masalah pemberantasan korupsi belum juga tertangani dengan baik. Kondisi penegakan hukum dalam kasus korupsi masih morat-marit, tidak jelas siapa yang menjalankan hukum itu. Kinerja pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) sebagai benteng terakhir keadilan belum berjalan dengan baik, manusia yang duduk didalamnya yang bertindak sebagai hakim masih penuh dengan ketidakjujuran. Perangkat hukum yang lain seperti KPK  dan sebagainya pun penuh dengan ketidakjujuran, bukan sistem/instansi yang tidak baik akan tetapi manusia yang duduk didalamnya tidak memiliki good will dan political will dalam pemberantasan korupsi itu sendiri. Lepas dari tingkat demokrasi yang kita capai dewasa ini, demokrasi dengan mutu yang berapa rendahnya pun tetap lebih menguntungkan daripada sistem yang lainnya. Dalam sistem demokrasi masih terdapat peluang untuk menumbuh kembangkan kekuatan pengawas sosial, sebagai wujud dari partisipasi pada berbagai lapisan masyarakat.Tingkat mutu demokrasi kita sekarang menunjukkan bahwa masayarakat kita dewasa ini berada pada tahap yang dalam kajian politik komparatif dikenal dengan transitologi. Akhir kata, semangat pemberantasan korupsi harusnya tidak saja memberikan sangsi berupa hukuman penjara dan juga mengembalikan uang yang dikorupsi ke kas negara, akan tetapi hendaknya diberlakukan hukuman mati bagi koruptor kambuhan ataupun yang mengkorupsi hingga merugikan negara. ---wassalam---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun