Saat saya sedang menunggu hasil photocopy lembaran kertas mewarnai untuk anak saya, sekelompok anak berusia sekitar 8-9 tahun – datang menghampiri sambil membawa beberapa kertas yang juga bergambar. Dalam hati saya tersenyum: wah, koq sama ya? Mereka begitu bersemangat. Namun, ada hal yang membuat saya agak kaget dengan obrolan mereka. Seorang dari mereka tiba-tiba bicara tentang seorang temannya yang punya keinginan untuk merusak dan membakar gereja serta menghancurkan salib dalam gereja. Ah, namanya juga anak-anak, biasanya suka main-main. Begitu pikir saya. Tapi, kenapa ide atau keinginan negatif itu bisa muncul? Apa tidak mungkin hal itu dipicu oleh isi media informasi yang dikonsumsi anak-anak kita? Atau mungkin para pendidik tak lagi memperkenalkan dengan bijak perbedaan-perbedaan yang semestinya dihormati? Bagaimana dengan peran orang tua dan para guru agama? Apa yang sedang berlangsung dalam dunia pendidikan agama anak-anak kita? Apakah semuanya ‘baik-baik’ saja seperti yang terlihat? Apakah tidak mungkin ada semacam pergerakan diam-diam yang mencoba mengindoktrinasi anak-anak kita agar mentah-mentah menganggap apa yang beda sebagai tabu, musuh dan harus diperangi? Rentetan pertanyaan itu saling berburu dalam benak saya, ketika saya melangkah pergi dari tempat photocopy itu. (Ada yang menganggap cerita ini fiktif. Ini adalah kenyataan yang saya dengar langsung tanggal 19 Februari 2011 dekat tempat tinggal saya).
Menyaksikan 'ancam-mengancam' antara ormas berjubah agama dengan pemerintah dan masyarakat yang antipati terhadap perilaku ormas ini di media-media informasi. Lalu sikap Menteri Agama kita, Suryadharma Ali, yang terkesan hanya melindungi kepentingan kelompoknya. Kemudian dalam setiap demonstrasi ormas-ormas berbasis agama ini, anak-anak selalu terlihat dilibatkan. Bukan tidak mungkin terjadi semacam transfer pendidikan yang bersifat negatif – diantaranya kekerasan, kebencian dan otoritarianisme - kepada generasi muda kita sejak usia dini. Disadari atau tidak, berbagai konflik keagamaan yang semestinya hanya ‘dikonsumsi’ orang dewasa, juga diserap oleh anak-anak kita. Bahkan celakanya, jika para orang tua, tokoh keagamaan, bahkan guru agama, mempertegas dan membenarkan perilaku atau tindak kekerasan karena dianggap membela agamanya atau membela Tuhan.
Penulis pernah juga mengalami ‘pelecehan agama’ (saya merasa istilah ini janggal, tapi umumnya kita sering menggunakannya) ketika masih di SMA. Hal itu dilakukan oleh kepala sekolah dan guru agama (Islam) terhadap saya bahkan di hadapan teman-teman saya. Yang satu ketika upacara bendera, yang lain saat di dalam kelas. Padahal saat SMP, saya pernah mengikuti pendidikan agama Islam setahun dan guru agama Islam ini sangat menghormati keyakinan saya. Tak sedikit pun ia 'melecehkan agama' saya. Saat itu terjadi, saya hanya diam, meski ada rasa geram dalam benak saya. Geram karena hal itu saya anggap sebagai upaya memojokkan saya. Tapi untunglah, para sahabat dan guru saya yang sebagian besar Muslim saat itu, malah menolak mindset yang sempit itu. Mereka tak sependapat dengan ucapan dan ide yang coba dijejalkan pada pikiran mereka. Dalam hal ini, saya berterima kasih kepada para sahabat saya. Saya masih percaya, bahwa ini masalah paradigma, masalah pola didik. Saya yakin, bahwa peristiwa yang saya alami di atas bukan hanya dialami oleh umat Kristen, tapi bisa saja dialami umat Islam, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, atau para penganut kepercayaan. Dengan kondisi berbagai peraturan daerah (perda) yang telah lahir dan dibidani dengan semangat menghilangkan kebhinnekaan bangsa ini, patutlah kita mewaspadai dunia pendidikan kita.
Kalau kita perhatikan, misalnya di Jawa Barat, kenapa prosentase intoleransi dalam kehidupan beragama tertinggi di Indonesia. Menurut pemikiran saya, karena pengaruh perda-perda bernuansa syariah yang justru membuat sekat-sekat dan tembok-tembok antar umat beragama di masyarakat diterapkan sedemikian rupa, hingga merasuk ke dalam dunia pendidikan, bahkan sekolah-sekolah negeri. Mengapa begitu? Karena hidup keberagamaan yang dituntut dari perda-perda itu lebih bersifat kepada simbol-simbol keagamaan semata. Dengan memakai jilbab, maka Anda akan dianggap orang suci, dengan memakai tanda salib, kutipan ayat (berupa stiker, dsb.) di mobil, handphone bahkan di wallpaperlaptop Anda, maka Anda dianggap rohani. Bahkan ringtone-pun harus bernuansa agama yang Anda yakini. Sepintas, memang tidak ada yang salah dengan hal itu. Semuanya bisa dianggap sah-sah saja. Tapi jika kita perhatikan, ujung-ujungnya juga praktik kapitalisme. Dan terjadi semacam perang budaya – antara Amerikanisme/Eropa dengan Arabisme (bahkan mungkin Talibanisme) - di negeri ini. Saya tak bilang bahwa perang budaya yang terjadi adalah antara Amerikanisme dengan Islam. Itu tidak tepat, karena Islam tak selalu identik dengan Arabisme. Secara histori, Islam masuk dan berkembang di Indonesia tak hanya dari dunia Arab, tapi justru di awali pula dari kaum pedagang Muslim di China. Bagi saya, sama seperti yang diungkap oleh John L. Esposito, bahwa Islam itu warna-warni, tidak tunggal. Persis seperti ormas-ormas atau kelompok yang mengatasnamakan umat Muslim (Islam) Indonesia, tapi sesungguhnya mereka tak identik dengan mayoritas umat Muslim Indonesia.
Cobalah sesekali kita survei, di sebuah sekolah negeri, tempat bertemunya peserta didik dari berbagai latar belakang suku, agama, ras dan agama, adalah medium yang sesungguhnya sangat baik untuk dijadikan inkubator generasi masa depan masyarakat kita dalam hal saling memahami dan menghormati keyakinan masing-masing. Amat disayangkan jika yang terjadi justru paradigma ‘mayoritas-minoritas’ diterapkan bahkan ditularkan dalam dunia pendidikan kita. Apa jadinya jika para orang tua, guru dan tokoh agama menyemaikan dan merawat benih-benih kebencian kepada generasi penerusnya?
Dari apa yang saya amati dan alami, mari kita sama-sama menjaga generasi muda kita dari sikap intoleransi terhadap mereka yang berbeda. Tak selalu perbedaan itu harus disamakan dan tak selalu kesamaan itu pasti membawa kebaikan dan benar. Dunia pendidikan semestinya tak kita cemari dengan berbagai intervensi bernuansa kuasa ‘mayoritas’ terhadap ‘minoritas’ melalui berbagai kebijakan berupa perda-perda yang hanya menekankan simbol-simbol keagamaan tanpa berhasil mengubah masyarakat itu sendiri menjadi lebih menghormati keberagaman (pluralitas) . Disinilah peran dunia pendidikan (agama) sangat penting guna membentuk masyarakat Madani (civil society), yang akar toleransinya sangat kuat ketimbang intoleransi. Pendidikan agama yang diberikan pada peserta didik, seyogyanya juga mengajarkan bagamana kita pun memahami perbedaan yang ada, bukan untuk menyingkirkan yang lain, melainkan bagaimana kita saling melengkapi dalam membangun masyarakat, bangsa dan negara ini. Tulisan ini tak dimaksudkan untuk menyudutkan umat atau agama tertentu, melainkan diharapkan agar paradigma kita mengenai pendidikan agama dapat lebih dikembangkan dalam hal-hal positif. Quo vadis pendidikan agama di Indonesia?
Saya berharap, cerita sekelompok anak yang saya dengar obrolannya di atas, tak menjadi kenyataan. Salam.
Bandung, 19 Februari 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H