Mohon tunggu...
Wimpie Fernandez
Wimpie Fernandez Mohon Tunggu... Penulis - Tak harus kencang untuk berlari

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memakai Sepatu di Dalam Rumah, Sebuah Anomali yang Terus Dilakukan

25 September 2020   07:58 Diperbarui: 26 September 2020   18:56 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menanggalkan sepatu di luar rumah membantu menjaga kebersihan diri dan rumah (Foto: Freestockphoto)

"Seandainya, semua manusia memiliki kepekaan, maka dunia akan diselimuti sukacita dan kedamaian"

Di Indonesia jarang kita melihat seseorang menggunakan sepatu di dalam rumah. Perilaku ini sering kita jumpai di luar negeri utamanya negara-negara Eropa dan Amerika. Lantas, bagaimana jika orang Indonesia menggunakan sepatu di dalam rumah atau sedang bertamu ke rumah tetangga, saudara atau kerabat?

Beberapa waktu lalu, saya bertemu sekaligus berkenalan dengan seseorang. Dia baru saja menyelesaikan studi di luar negeri. 

Kami berbincang singkat di teras depan. Dalam perbincangan ringan itu, tidak ada yang aneh darinya. Tutur kata serta sikapnya seperti manusia pada umumnya. Normal, cakap dan sedikit humor.

Setelah berbincang, orang itu masuk ke dalam rumah yang disulap menjadi kantor lembaga sosial. Ketika masuk ke dalam, orang itu tidak melepas sepatunya. 

Sontak saya kaget melihat perilaku orang tersebut. Mimik wajah saya tampaknya diketahui salah seorang kawan yang duduk tepat di sebelah kanan saya. Kemudian dia nyeletuk begini, "Kita harus bisa menerima perilakunya. Dia kan bertahun-tahun tinggal di luar negeri," ucapnya.

Setelah mendengar ucapan itu, saya bergeming sambil mematikan rokok kemudian masuk ke dalam. Kembali menulis. 

Di dalam ruangan, saya melamun sambil menatap layar komputer. Merenungkan perilaku dari seorang yang baru saja saya kenal sekaligus mengingat-ingat ucapan dari kawan saya tadi.

Saya bertanya dalam hati, orang baru itu asli Indonesia. Artinya, sejak lahir hingga menyelesaikan studi S1 di Indonesia. Setelah itu, ia melanjutkan studi S2 di luar negeri selama kurang lebih 4 tahun. Bagi saya, itu bukan waktu yang lama pake banget.

Namun, kenapa masih melekat budaya barat yang tidak cocok diterapkan di Indonesia? Apakah dia merasa benar memakai sepatu dalam rumah, takut kotor atau mungkin takut sepatunya dicuri? Saya tidak tahu.

Sebagai orang terpelajar yang menuntaskan pendidikan S2 di luar negeri, sejatinya memiliki kecerdasan akademik yang sangat apik. Namun, mereka yang memiliki kecerdasan akademik, belum tentu memiliki kecerdasan sosial. Hal ini sama seperti orang baru yang memakai sepatu di dalam rumah. 

Mengutip (Widodo, Indraswati, & Sobri, 2019), setiap orang dituntut agar memiliki kepekaan terhadap lingkungan sosial di mana mereka berada.

Orang yang baru saja saya kenal, tampaknya tidak memiliki kepekaan yang mendalam terhadap lingkungan sosial di mana ia beraktivitas. 

Justru, saya menilai, ia sudah terpengaruh oleh budaya barat. Contoh nyata dan sederhananya adalah memakai sepatu di dalam rumah yang disulap menjadi kantor. Itu bukanlah cermin budaya bangsa Indonesia, melainkan budaya barat bung!

Di satu sisi, semua karyawan yang bekerja di sana melepas alas kakinya. Anehnya, tidak ada yang berani menegur perilaku dari orang anyar itu. Mungkin karena jabatan, jadi semua karyawan sungkan atau takut untuk menegur. 

Saya juga tidak tahu pastinya. Padahal, menurut (De Jaegher, Di Paolo, & Gallagher, 2010), orang yang pandai menempatkan diri serta menyadari kedudukan serta fungsinya dalam lingkungan sosial disebut dengan kecerdasan sosial.

Ironisnya lagi, orang anyar itu tidak bisa menghargai sesama manusia yang bertugas membersihkan seisi rumah yang disulap menjadi kantor. Mulai menyapu, mengepel, sikat kamar mandi, membersihkan perpustakaan mini yang penuh dengan debu, buat kopi dan teh, siram-siram tanaman, hingga membuang sampah.

Orang baru itu tidak bisa memposisikan diri di mana ia berada. Justru dengan tegak, ia mengibas-ngibaskan kedua kakinya di atas keset, kemudian melangkahkan kaki berjalan masuk ke dalam rumah itu.

Cukup miris melihat mereka yang bekerja di lembaga sosial, tapi sungkan atau takut menegur. Akhirnya muncul ketidaknyaman bahkan ketidak harmonisan saat menjalankan aktivitas. 

Seorang kawan ngrasani perilaku orang baru yang acapkali menggunakan sepatu di dalam rumah. Dengan kata lain, ada unek-unek yang ingin disampaikan, tapi tidak berani. Mungkin minoritas, jadi takut dibilang pemberontak yang kemudian merambat ke pekerjaannya.

Nasution (2019:2) mengungkapkan bahwa terdapat norma-norma, nilai dan etika yang harus dipatuhi sebagai kesepakatan bersama dalam sebuah masyarakat. Salah satu tujuannya adalah agar hubungan sosial tersebut dapat berjalan harmonis.

Melihat anomali memakai sepatu di dalam rumah, saya hanya bisa mengungkapkan lewat sebuah tulisan karena itu cukup melegakan untuk batin saya. Sekaligus tulisan ini mewakili suara dari seorang kawan yang sepemikiran dengan saya, namun tak bisa menulis, hanya bisa berkata-kata.

Sumber: 

De Jaegher, H., Di Paolo, E., & Gallagher, S. (2010). Can social interaction constitute social cognition? Trends in Cognitive Sciences, 14(10), 441--447. https://doi.org/10.1016/j.tics.2010.06.009

Nasution, H. A. (2019). Patologi sosial dan pendidikan Islam keluarga (D. F. Multiera, Ed.). Surabaya: Scopindo Media Pustaka.

Widodo, A., Indraswati, D., & Sobri, M. (2019). Analisis Nilai-Nilai Kecakapan Abad 21 dalam Buku Siswa SD/MI Kelas V Sub Tema 1 Manusia dan Lingkungan. Tarbiyah : Jurnal Ilmiah Kependidikan, 8(2), 125. https://doi.org/10.18592/tarbiyah.v8i2.3231

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun