Salah satu permainan yang membutuhkan banyak personel adalah permainan sepak bola. Biasanya ketika hendak memainkannya, kita akan mengajak beberapa teman untuk melengkapi skuad atau personel. Tetapi ada orang-orang yang berinisiatif datang untuk bergabung meski tak diajak. Hal serupa tidak hanya terjadi pada permainan sepak bola. Ada saja orang-orang yang selalu pengen ikut dan dilibatkan. Â Seiring kemajuan teknologi, keinginan untuk dilibatkan beralih ke media sosial yaitu ketika kita mengepoin berita tren terbaru atau status teman. Pernahkah Anda mengalaminya? Tidak masalah. Itu bagian sifat alamiah manusia. Tugas kita adalah menyikapinya dengan bijak.
Sekitar tahun 2020 sampai 2021 yang lalu, masalah Fear of Missing Out (FOMO) hangat dibicarakan di media sosial. Mengutip pernyataan Dwiputri, seorang psikolog, "FOMO adalah suatu perasaan takut ketinggalan, takut tidak dilibatkan ke dalam sesuatu yang dialami orang lain (seperti kegiatan yang menarik) (Kompas.id, 4/4/2020). Ada fenomena di mana orang takut kurang update serta tidak dilibatkan dalam suatu kegiatan. Ketakutan tersebut mendorong kita bersikap kepo pada aktivitas orang lain atau tren perbincangan di media sosial. Semua itu dilakukan demi mencegah missing out dan terasing dari kelompok.
Apakah FOMO itu buruk? Tentu saja tidak. Sebagai makhluk sosial, sangat normal apabila seseorang melakukan berbagai cara supaya ikut serta terlibat dalam dinamika bersama orang lain. Masalahnya, apabila setiap aktivitas orang lain diikuti atas dasar FOMO. Kita akan menghabiskan waktu pada hal-hal yang belum tentu berguna. Kita menjadi super sibuk, kelelahan sendiri, padahal belum tentu menghasilkan sesuatu yang berguna. Bahkan, secara tidak sadar, hidup kita dibebani berita-berita dan pengaruh negatif.
Saya punya beberapa teman yang mengaku tidak ingin menjadi perokok. Tetapi, awalnya hanya mau menyesuaikan diri dengan kebiasaan di lingkungan sosial. Ketakutan terhadap bahaya keterasingan membuat mereka ikut-ikutan merokok. Ini solusi tidak sehat pada FOMO. Sebagian besar orang-orang yang kecanduan merokok terdorong rasa takut tidak punya circle. Niatnya baik tetapi caranya salah.
Dalam berbagai situasi, orang-orang berusaha menyesuaikan diri dengan ikut tren. Padahal, mereka tahu bahwa itu salah. Mereka hanya menutupi rasa takut terasing. Sebenarnya, banyak di antara mereka yang tidak mau terlibat dalam kebiasaan buruk seperti merokok. Tetapi, seringkali tidak ada yang mau berbicara demi menjaga perasaan teman. Itulah yang melanggengkan kebiasaan-kebiasaan buruk.
Berhadapan dengan akibat-akibat negatif yang ditimbulkan FOMO, saya menemukan cara ampuh menyikapinya yaitu belajar joy of missing out yang dapat disingkat menjadi JOMO. Sikap ini diperkenalkan Sophie Nativa dalam bukunya yang sangat menarik berjudul Temukan Rasa Utuhmu, Temukan Hidupnya. Dia menjelaskan bahwa kita perlu menemukan sukacita dari ketertinggalan kabar terbaru tentang segala sesuatu yang terjadi di dunia. Sadari bahwa hidup kita baik-baik saja tanpa mengetahui yang terbaru di luar sana.
Belajar joy of missing out tidak sama dengan sikap bodo amat atau hidup dalam ketidak-mau-tahuan segala hal. Kita perlu menyadari bahwa kita tidak harus menjadi yang pertama-tama tahu akan semua berita yang bertebaran di media sosial. Kita butuh menyediakan waktu buat diri sendiri, lebih tenang dan fokus pada prioritas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H