Ada banyak kutipan-kutipan menarik tentang pentingnya belajar selama kita hidup. Dua di antaranya 'long life education' dan 'never stop learning'. Melalui dua kutipan ini, kita dimotiviasi untuk belajar seumur hidup. Bahkan belajar tidak lagi dilihat sebatas pertemuan guru dan murid di kelas, tetapi dari setiap peristiwa hidup sehari-hari yang terjadi secara alamiah.
      Kalau disadari kembali, umat manusia mendirikan begitu banyak bangunan dan fasilitas pelengkapnya diperuntukkan untuk belajar. Mulai dari gedung Kelompok Bermain (KB), Taman Kanak-kanak (TK), hingga jenjang Perguruan Tinggi. Ada banyak tempat dan fasilitas yang disediakan agar kegiatan belajar -- mengajar terjadi.
      Selain kesediaan sarana prasarana, kita datang dan menghabiskan banyak waktu belajar bersama di kelas. Para pelajar mendengarkan penjelasan guru, berdiskusi, menyampaikan pendapat, bereksperimen di laboratorium dan seterusnya. Pada intinya, kegiatan 'belajar' menyita banyak materi, pikiran, tenaga dan waktu selama kita hidup.
      Kita semua sadar bahwa belajar itu butuh pengorbanan yang luar biasa. Sekitar belasan bahkan puluhan tahun kita mencurahkan sebagian besar dari hidup ini untuk belajar, bukan? Saya yakin hampir semua dari Anda setuju. Tidak dapat diragukan bahwa belajar itu mulia, mahal, terpuji dan keutamaan dalam hidup.
      Beriringan dengan kesadaran akan pentingnya belajar, ada orang-orang yang 'tidak mau belajar lagi'. Umumnya mereka menyerah dengan mengatakan 'saya tidak bisa'. Pernyataan tersebut memprihatinkan bisa diucapkan para siswa pada materi pelajaran sekolah. Dengan menyerah, mereka menutup pintu bagi diri sendiri untuk keluar dari ketidakmampuan.
      Saya mau bercerita sedikit. Salah satu kewajiban kami, para mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) adalah memiliki kemampuan berbahasa Inggris secukupnya berdasarkan standar yang ditentukan kampus. Untuk mengukur tingkat kemampuan itu, para mahasiswa mengikuti Test of English Foreign Language (TOEFL). Hanya mahasiswa yang mencapai skor lima ratus yang dinyatakan lulus. Sayangnya, ada yang tidak mencapai angka tersebut.
      Beberapa teman saya mengaku tidak bisa berbahasa Inggris. Mereka menyerah dan tidak lulus ketika test TOEFL. Pesimisme tersebut membuat mereka malas belajar. Pertanyaannya adalah apakah mereka tidak akan bisa lulus? Setiap orang punya jawaban yang berbeda-beda.
      Saya yakin mereka pasti bisa lulus. Tetapi perlu disadari bahwa tidak segala hal dapat dipelajari secara instan. Bagi saya yang minim pengetahuan berbahasa Inggris butuh waktu bertahun-tahun belajar agar lulus TOEFL. Saya tetap belajar meskipun tidak langsung paham. Saya menjelaskan prinsip yang perlu dipegang melalui ilustrasi sederhana di bawah ini.
      Belajar bahasa Inggris atau apapun itu seperti mendaki sebuah gunung yang tinggi. Kita berangkat dari sisi timur untuk mengambil satu bendera yang berada di sisi barat. Pendaki perlu menghabiskan waktu berhari-hari mendaki sisi timur menuju puncak. Dia harus terus mendaki meskipun belum melihat bendera yang hendak diambil. Ia yakin harus yakin bahwa setelah mendaki sedemikian rupa, suatu saat bendera akan terlihat dari kejauhan.
      Sangat disayangkan bahwa sebagian besar pendaki berharap melihat dan meraih bendera pada hari ketiga dan keempat. Mereka berlari kencang pada hari pertama dan kedua. Sebagian dari mereka melompat-lompat dengan harapan bisa meraih bendera di sisi seberang gunung. Hasilnya tentu nihil. Mereka yang berlari kencang dan berlompat di tempat demi hasil instan berakhir pada kegagalan dan rasa kecewa.
      Pahamilah perumpamaan di atas. Ada orang yang perlu mendaki dari sisi gunung paling bawah. Ada yang memulai dari tengah. Ada pula yang hampir sampai puncak gunung. Mereka yang berada di sisi paling bawah, butuh kerja keras, ketekunan dan kesabaran ekstra. Demikian juga dengan belajar bahasa Inggris atau apapun itu.