Di tengah dunia yang plural, setiap orang atau kelompok memikirkan kebenarannya sendiri. Pada beberapa persoalan mendasar kehidupan, umat manusia tidak menemukan kata sepakat pada satu kebenaran. Terkait keputusan untuk percaya pada realitas ilahi, masih-masih agama berusaha meyakinkan diri dan orang lain bahwa agamanya yang paling benar. Dalam bidang kebudayaan pun kebanyakan orang memiliki pola berpikir serupa. Budaya dan adat saya yang paling baik. Orang-orang dari kelompok lain pun berusaha membangun keyakinan yang sama pada dirinya.
Berhadapan dengan persoalan-persoalan pluralisme yang tidak menemukan titik temu, para pendahulu mengambil jalan tengah. Mereka berusaha memakaikan kepada kita kacamata 'cinta keberagaman' dengan mengajarkan bahwa perbedaan itu harus dilihat sebagai keindahan. Keberagaman merupakan kekayaan yang harus kita syukuri. Apakah kebenaran itu beragam? Agak sulit membayangkan dari kacamata rasionalitas bahwa kebenaran itu beragam.
Kita harus mengakui bahwa ada hal-hal yang keberadaan berbeda dari yang lain karena memang demikian adanya. Perbedaan warna kulit, tinggi badan, etnis, bahasa kita tidak untuk dipertentangkan mana yang benar dan salah. Itu realitas yang harus kita terima. Tetapi persoalan-persoalan moral, etika, martabat manusia tidak dapat ditafsirkan sesuai selera pribadi setiap individu. Lebih parah lagi apabila para pejabat publik mengesampingkannya.
Inkonsistensi para pejabat dalam menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan aturan yang berlaku menurunkan derajat norma bagi masyarakat. Kita melihat bahwa justru dengan melanggar hukum, para pejabat melanggengkan kekuasaan. Kondisi hidup mereka terlihat semakin baik. Apa gunanya rakyat patuh aturan? Demikianlah logika sederhana dan realistis dari khalayak pada umumnya.
Untuk menjaga kesetiaan masyarakat pada keutamaan-keutamaan manusiawi, para akademisi bertugas menentang pelanggaran aturan. Dengan lantang, mereka harus menyuarakan aspirasi-aspirasi kita. Kaum cendekiawan, kita tidak hanya memiliki dan membagikan ilmu - itu memang mutlak. Selain itu, kita menegakkan rasionalitas dan kerja metodis dalam menegakkan kebenaran dan kejujuran. Demikianlah alasan eksistensi universitas sebagaimana disampaikan Rochman (KOMPAS, 7/2/2024).
Harus diakui bahwa ada orang-orang tidak kompeten yang muncul di tengah publik mengemban tugas penting. Bermodalkan viral, mereka disoroti dan entah dengan pertimbangan apa, mereka berada di posisi penting. Sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan menambak nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi.Â
Celakanya, tidak sedikit masyarakat yang terbuai pada tampilan menarik dan ucapan-ucapan manis mereka. Akibatnya, meskipun tahu bahwa itu salah, mereka mentolerir begitu saja. Tetapi harus diingat bahwa pelanggaran etika hari ini berimbas pada gerakan politik dan cara berpikir masyarakat di masa depan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H