Â
      Seiring berjalannya waktu, perintah ini mendapat tantangannya. Seorang doktor teologi moral, Bernhard Kieser, menjelaskan bahwa ada tekanan dari kebudayaan sekitar bangsa Israel, terlebih-lebih saat terjadi penjajahan atau perantauan. Pada mulanya, bangsa Israel tidak menyediakan lembaga budak belian, tetapi budaya yang baik itu tidak dapat bertahan disebabkan oleh tekanan karena hutang. Akibatnya, dibuatlah aturan yang mengatur seluk-beluk perbudakan dan ada orang Israel yang menjual orang sebangsanya menjadi budak (Kieser B., 1991).
Â
      Ketika bangsa Israel menghadapi berbagai kesulitan menjalankan perintah Allah, Tuhan tidak serta-merta menghukum mereka. Akan tetapi, Ia tidak membiarkan makhluk ciptaanNya menderita perbudakan secara terus menerus. Oleh sebab itu, kita dapat membaca dalam Kitab Imamat, Allah bersabda: "Ia harus diizinkan keluar daripadamu, ia bersama-samaanak-anaknya, lalu pulang kembali kepada kaumnya.... Sebab hamba-hambaku yang kubawa keluar dari tanah Mesir, janganlah itu dijual seperti orang menjual budak" (Im 25:39-42).Seturut aturan ini, jika seseorang menjual dirinya, ia hanya boleh diperlakukan sebagaiburuhupahan, bukan sebagai budak belian; ia mesti diperlakukan dengan murah hati serta wajib dibebaskan pada tahun Yobel tiba (Allism & Hadiwijono, 1998).
Â
      Yahwe telah memberikan kemerdekaan bagi bangsa Israel dengan membimbing mereka keluar dari tahan Mesir. Yahwe tidak membiarkan bangsa milik-Nya diperbudak oleh bangsa-bangsa lain. Bangsa yang telah dibebaskan oleh Allah tidak boleh gunakan sebagai alat bagi kepentingan ekonomi. Nabi Amos mengecam praktek jual-beli orang karena alasan ekonomi. Nabi Amos berkata: "mereka menjual orang benar karena uang dan orang miskin karena sepasang kasut.... Padahal Akulah (Yahwe) yang menuntun kamu keluar dari Mesir" (Amos 2:6.10).
Â
      Dalam perjalanan waktu, perintah ketujuh tidak dilupakan atau ditinggalkan. Di dalam Kitab Perjanjian Lama, kita dapat menemukan nas terkait perintah ini. Persoalan kemerdekaan umat dan anak-anak Allah mendapat menekanan pada pada Perjanjian Baru. Yesus menekankan bahwa hari sabat untuk manusia -- bukan manusia untuk hari sabat (bdk.Mrk 2:27). Rasul Paulus memaklumkan pokok utama maksud kedatangan Yesus yaitu tindakan penebusan, warta kemerdekaan. Di dalam dunia baru yang dibawa oleh Kristus, "tidak ada lagi perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan" (Gal 3:28). Yesus menghapus segala bentuk perbudakan yang merendahkan martabat manusia sebagai citra Allah (Kieser B., 1991).
Â
      Pembebasan menuju kemerdekaan sejati yang dibawa oleh Yesus sangat mengakar dalam ajaran Kristiani. Dalam Katekismus ditekankan bahwa melalui Injil, "Gereja menerima wahyu seutuhnya tentang kebenaran mengenai manusia. Kalau ia menjalankan tugasnya, yakni mewartakan Injil, maka ia memperlihatkan kepada manusia, atas nama Kristus, martabat dan panggilannya untuk persekutuan pribadi; ia mengajarkan kepadanya keadilan dan cinta kasih yang sesuai dengan kebijaksanaan ilahi" (KGK 2419). Secara lebih spesifik diberi pesan kepada para atasan dan majikan: "Mereka berkewajiban supaya memperhatikan kesejahteraan manusia dan tidak hanya peningkatan keuntungan" (KGK 2432). Para majikan hendaknya berlaku adil dan jujur terhadap karyawan atau orang-orang yang bekerja untuknya (bdk. Kolose 3:22; 4:1). Nasehat ini didasarkan pada iman bahwa baik buruh kerja, pegawai, karyawan maupun para atasan semuanya milik Tuhan.
Â