Beberapa minggu lalu beredar video perkelahian dua orang remaja perempuan.Rekaman tersebut beredar di grup WA, FB, IG, juga tik-tok. Dalam video perkelahian tersebut, dua remaja perempuan itu saling menjambak rambut, memukul, menendang, bahkan sampai jatuh berguling di aspal jalan. Terekam pula banyak orang yang menyaksikan secara langsung perkelahian itu, dan bukannya melerai perkelahian, Â mereka yang malah mendokumentasikannya menggunakan kamera ponsel masing-masing.
Ada kejadian lain dimana orang melihat kecelakaan yang memakan korban tetapi memilih untuk menjadi penonton atau pengamat saja. Lebih jauh, para saksi tersebut malah sibuk mendokumentasikan kejadian dengan menggunakan ponsel.
Fenomena sosial seseorang menempatkan diri sebagai penonton saja saat melihat peristiwa  bahaya yang menimbulkan korban ini disebut bystander effect. Orang memilih untuk menjadi pengamat saja dan tidak punya dorongan untuk menyelamatkan situasi, terlebih menyelamatkan korban.
Istilah bystander effect dicetuskan oleh Bibb Latane dan John Darley setelah mendalami kasus pembunuhan Kitty Genovese di Queens, Yew York City. Kejadian pembunuhan tercatat bermula dari saat Genovese pulang ke apartemennya. Setelah memarkir mobilnya dan melangkah ke apartemen, pelaku yang bernama Moseley menyerang dengan melakukan penusukan, bahkan termasuk sempat memerkosa korban. Berdasarkan pemeriksaan polisi, ditemukan 38 pasang mata menyaksikan kejadian tersebut, tetapi tidak mengambil tindakan apapun.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan orang bersikap tidak peduli dalam bystander effect. Pertama, orang merasa tidak bertanggung jawab atas sebuah kejadian. Lebih lanjut terjadi difusi tanggung jawab, dimana rasa tanggung jawab semakin berkurang bila di sekitar peristiwa terjadi terdapat banyak saksi mata. Kedua, orang merasa khawatir terhadap penilaian publik, termasuk takut terhadap dampak setelah kejadian, misalnya akan menjadi saksi di hadapan pihak yang berwajib. Ketiga, orang merawa keadaan belum darurat jika tidak ada orang lain yang lebuh dahulu membantu. Keempat, orang merasa tidak sanggup dan takut membahayakan diri sendiri.
Dalam beberapa penilaian, bystander effect dapat menjadi sinyal menurunnya kadar empati pada pribadi seseorang. Fenomena ini dapat terjadi kapan dan di mana saja. Di sekolah, misalnya, ada kejadian di mana salah satu murid lupa membawa pensil dan murid lain tidak tergerak untuk meminjamkan pensil mereka. Ada juga kejadian mahasiswa dalam satu kelompok lalai mengerjakan tugas kelompok karena merasa bahwa bukan tanggung jawab pribadi masing-masing anggota kelompok.
Di dunia kerja pun bystander effect dapat terjadi. Pegawai mengerjakan suatu tugas secara serampangan karena merasa bahwa yang akan bertanggung jawab atas berhasil tidaknya tugas tersebut berada di tangan pimpinannya. Jika terjadi kesalahan atau penyimpangan, yang akan bertanggung jawab sepenuhnya bahkan sampai menerima hukuman adalah pimpinan.
Apakah ada cara untuk mencegah bystander effect? Ada. Cara paling kuat adalah menempatkan diri sebagai tokoh utama dalam setiap kejadian atau pekerjaan. Menempatkan diri sebagai orang yang bertanggung jawab dalam setiap pekerjaan, proaktif dalam memberikan bantuan kepada setiap orang yang membutuhkan bantuan, terlebih dalam situasi darurat/kritis. Tak perlu alasan untuk menolong orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H