[caption id="attachment_360426" align="aligncenter" width="700" caption="Sesi diskusi "][/caption]
[caption id="attachment_360427" align="aligncenter" width="700" caption="Berfoto bersama Kepala BNP2TKI Nusron Wahid"]
Kabar gembira memenuhi ruang diskusi pekerja migran ketika pemerintah menginisiasi pertemuan tripartite yang menghasilkan keputusan revisi biaya penempatan ke Taiwan yang sebelumnya berjumlah Rp. 34,4 juta menjadi 19,9 juta. Memang masih belum optimal karena konvensi ILO No. 189 tentang kerja layak bagi pekerja rumah tangga mengatur bahwa biaya yang dikenakan oleh agen tidak bisa dipotong dari upah. Dengan demikian praktek potongan gaji selama beberapa bulan harus dihapuskan. Tapi setidaknya perjuangan panjang pekerja migran menuntut perlakuan adil terhadap pekerja migran mulai menunjukkan hasil dengan diturunkannya biaya penempatan.
Kepala BNP2TKI menyatakan bahwa pemangkasan biaya tersebut dimungkinkan karena pemerintah akan memberikan subsidi terhadap beberapa komponen biaya misalnya biaya pembuatan paspor, pemeriksaan kesehatan, biaya pelatihan dan akomodasi. Memang sudah  sewajarnya jika biaya tersebut ditanggung oleh pemerintah. Contohnya pemeriksaan kesehatan. Pemerintah memang harus menjadi gerbang akhir yang memastikan setiap orang yang berangkat ke luar negeri sehat untuk bekerja karena jika ternyata orang tersebut tidak fit untuk bekerja, justru akan memberikan masalah di negara penempatan. Sementara untuk komponen biaya pendidikan, sangat ideal jika komponen ini juga disubsidi pemerintah. Keputusan ini memberikan ruang yang sangat besar bagi pemerintah untuk memastikan kualitas pekerja migran yang akan ditempatkan dengan syarat bahwa proses pendidikan dan pelatihan diambil alih oleh pemerintah.
Banyak keluhan yang muncul ketika pendidikan dan pelatihan diserahkan kepada agen. Mulai dari kualitas hasil pelatihan yang tidak mampu menjawab kebutuhan penguna jasa di negara penempatan, pemalsuan sertifikat pelatihan, standar kurikulum yang tidak memadai, kualitas pengajar yang juga dipertanyakan, lamanya waktu tinggal bagi pekerja migran di lembaga pelatihan yang disiapkan agen sehingga menyebabkan tingginya tingkat stres yang dialami calon pekerja migran tersebut. Keputusan ini juga diharapkan dapat menghentikan praktek pemalsuan data kependudukan dan ijasah yang selama ini marak dilakukan oleh para agen terutama untuk calon pekerja migran di bawah umur.
Tuntutan untuk menurunkan biaya penempatan juga didesak oleh para pekerja migran kepada kepala BNP2TKI Nusron Wahid pada pertemuan "Perumusan Gagasan bagi Revisi UU 2014 oleh Pekerja Migran Indonesia" yang dilaksanakan di Jakarta tanggal 12 s.d. 14 Desember 2014. Perwakilan pekerja migran dari 9 negara penempatan mengeluhkan biaya penempatan yang sangat memberatkan pekerja migran. Sehabis dialog, Nusron Wahid mengundang perwakilan negara penempatan Singapura, Hongkong dan Malaysia untuk mendiskusikan biaya penempatan ketiga negara ini di kantor BNP2TKI.
Dalam diskusi terbatas tersebut, disepakati bersama bahwa ada komponen biaya yang akan diambil alih oleh pemerintah seperti yang diberlakukan untuk negara penempatan Taiwan misalnya biaya pelatihan dan akomodasi, paspor dan pemeriksaan kesehatan tentunya. Jika hal ini diputuskan, biaya penempatan akan turun lebih dari 50% sehingga potongan gaji bisa menjadi 4 bulan dari 8 ke 10 bulan potongan gaji yang berlaku sekarang ini.
Para pekerja migran di seluruh dunia sedang merayakan hari migran internasional. Di hari migran ini sudah seharusnya pemerintah memberikan kado istimewa kepada pekerja migran Indonesia di seluruh dunia dengan berita gembira pemotongan biaya penempatan. Lagi-lagi memang belum sangat ideal tapi minimal pemerintah memiliki itikad baik perlahan-lahan mewujudkan kondisi ideal zero placement fee.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H