Mohon tunggu...
dominggus penga
dominggus penga Mohon Tunggu... Administrasi - :)

:)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Keutamaan Iman dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk

21 Agustus 2012   00:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:30 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Iman adalah sebuah tanggapan. Melalui iman, manusia menanggapi kepercayaannya pada Misteri terakhir, mysterium tremendum et fascinosum, dalam sebuah sikap penyerahan diri. William Chang menulis, “Jantung terdalam iman adalah penyerahan total kepada Misteri Terakhir yang didalamnya kita hidup, bergerak, dan memperoleh keberadaan” (William Chang, Menggali Butir-Butir Keutamaan, 2002, 57-58). Kita menyebut Misteri Terakhir itu sebagai Allah. Dialah yang menjadi objek dari iman kita (bdk. St. Thomas Aquinas). Maka, ketika kita berbicara tentang iman, otomatis kita berbicara tentang Allah yang pada-Nya  kita percaya, berserah, dan memuja.

Yang menjadi pertanyaan sekarang, “Siapa Allah itu?” Di atas telah sedikit disinggung bahwa Allah adalah Misteri terakhir yang menjadi daya dan sekaligus juga menjadi tujuan terakhir hidup manusia. Lantas, “Bagaimana sebenarnya pribadi Allah itu?” Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan sederhana. Tiap agama di dunia mempunyai definisinya masing-masing. Yang jelas sama adalah bahwa Allah itu sosok yang mahasegalanya. Ia jauh tapi sekaligus juga dekat.

Persoalan tentang siapa itu Allah secara singkat saya kemukakan sebab ketika membaca novel “Ronggeng Dukuh Paruk”, tidak ada gambaran tentang Allah sebagaimana yang biasa kita kenal. Iman yang diamini oleh orang-orang Dukuh Paruk di novel karangan Ahmad Tohari adalah iman anemisme (keperacayaan pada roh nenek moyang – Ki Secamenggala). Kalau pun ada nama Allah disebut, baru di bagian akhir novel ini nama Allah itu muncul di mulut Rasus, seorang pemuda keturunan Dukuh Paruk yang memiliki garis hidup berbeda dengan orang-orang sedesanya. Maka dari itu, sebelum membahas tentang keutamaan iman dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk”, ada baiknya kita terlebih dulu mengenal secara singkat apa itu kepercayaan anemisme yang dipeluk oleh orang-orang Dukuh Paruk.

Animisme adalah kepercayaan primitif tentang adanya roh yang mendiami benda/tempat tertentu atau kepercayaan akan roh nenek moyang yang mempunyai kekuatan gaib yang hebat. Selain itu, roh tersebut juga memiliki kehendak, sehingga jika marah bisa membahayakan manusia dan jika gembira bisa menguntungkan manusia. Karena itu, mereka patut untuk disembah – diberi sesaji. Dalam animisme, diakui pula bahwa roh bisa berkomunikasi dengan manusia. Perantaranya adalah dukun. Dengan ritual-ritual tertentu si dukun bisa menghadirkan roh yang disembah dengan cara menjadikan dirinya wadah bagi si roh untuk merasuk dan kemudian berkomunikasi dengan para pemujanya.

Kepercayaan animisme yang dianut oleh orang-orang di Dukuh Paruk adalah kepercayaan pada roh nenek moyang mereka, yakni Ki Secamenggala. Ki Secamenggala adalah seorang bromocorah yang sengaja mencari daerah yang paling sunyi sebagai tempat menghabiskan riwayat keberandalannya. Di Dukuh Paruk itulah akhirnya Ki Secamenggala menitipkan darah dagingnya. Semua orang di Dukuh Paruk memujanya. Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kebatinan orang-orang di sana. Gumpalan abu kemenyan pada nisan kubur Ki Secamenggala membuktikan bahwa polah tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat di sana. Kenyataan ini menyiratkan sebuah keutamaan iman dalam perspektif Thomas Aquinas, dapat dikatakan sebagai sebuah keutamaan iman. Menurut Thomas Aquinas, Keutamaan adalah habitus, yaitu disposisi khusus yang menimbulkan kecenderungan dan kemampuan untuk melakukan sesuatu yang baik (William Chang, ibid, 19). Habituasi itu dikerjakan oleh orang-orang Dukuh Paruk dengan menjaga iman kepercayaannya pada roh Ki Secamenggala dengan doa dan sesembahan yang ditujukan padanya. Pada dia pulalah, orang-orang Dukuh Paruk mencari tuntunan hidup sebagaimana mestinya.

Kepada keturunannya, Ki Secamenggal menitipkan musik calung (sejenis angklung yang dimainkan dengan cara memukul bilah bambunya) dan tarian ronggeng sebagai tradisi yang mesti dilestarikan dan diwariskan secara turun-temurun. Bisa dikatakan bahwa ketaatan orang Dukuh Paruk untuk menjaga kelestarian calung dan ronggeng adalah sebagian dari cara orang Dukuh Paruk dalam mewujudkan kesetiaan kepercayaan mereka pada roh Ki Secamenggala. William Chang menulis, “Perwujudan iman akan mempengaruhi kehidupan seseorang. keyakinan atau iman kepercayaan rohani seseorang akan menimbulkan ‘perbedaan yang berarti’ dalam cara hidup dan tindakan manusia” (William Chang, ibid, 47). Demikianlah, bagi orang-orang Dukuh Paruk, bunyi musik calung dan tarian ronggeng bukan sekadar kesenian semata, tapi jati diri, identitas keberadaan mereka. Tanpa calung dan ronggeng, Dukuh Paruk seakan kehilangan makna hidupnya.

Perkara menjadi ronggeng juga bukan hal yang sepele. Tarian ronggeng bisa saja diajarkan, namun jika seorang perempuan tidak dirasuki oleh indang ronggeng, dia tidak bisa menjadi seorang ronggeng yang sejati. Ada dimensi mitis dalam penetapan seorang ronggeng di Dukuh Paruk. Seorang ronggeng pertama-tama haruslah mendapat restu dari arwah Ki Secamenggala. Restu itu didapat dengan dua upacara, yakni upacara memandikan calon ronggeng di makam Ki Secamenggala (pada saat itu, orang-orang Dukuh Paruk percaya bahwa semua roh di pekuburan akan bangkit melihat pertunjukan yang diadakan selepas upacara pemandian, dan mereka juga percaya bahwa arwah Ki Secamenggala berdiri di ambang pintu cungkup dan melihat pertunjukan Srintil, ronggeng baru di Dukuh Paruk) dan upacara bukak klambu(penyerahan keperawanan kepada seorang lelaki). Demikianlah, Srintil, seorang bocah perempuan Dukuh Paruk, dipercaya telah dihinggapi indang ronggeng harus menjalani kedua upacara tersebut. Bagi sebagian besar orang, upacara penetapan ronggeng di Dukuh Paruk bisa jadi dipandang sebagai upacara yang nista, terutama dalam upacara bukak klambu. Bagaimana mungkin seseorang tega menyerahkan dengan sengaja keperawanan seorang bocah perempuan hanya demi keabsahan sebagai seorang ronggeng? Rasus, yang adalah keturunan orang Dukuh Paruk itu sendiri, tidak habis pikir dibuatnya. Sekuat ia berontak, sekuat itu pula ia dihadang oleh tembok kepercayaan yang tak bisa dirobohkan. Memang sudah demikianlah adat kepercayaan Dukuh Paruk mensyaratkannya bagi calon ronggengnya.

Telah dikatakan di atas bahwa calung dan ronggeng bukan sekadar kesenian bagi orang-orang Dukuh Paruk, tapi juga menyangkut jati diri, makna hidup. Lebih dari itu, pementasan ronggeng juga menyangkut soal iman kepercayaan. Tak ada pementasan ronggeng tanpa terlebih dulu memasang sesaji atau membakar dupa yang ditujukan pada roh Ki Secamenggala. Tujuannya agar pementasan ronggeng direstui oleh Ki Secamenggala, penegak tradisi ronggeng di Dukuh Paruk. Maka tidak heran bila Sakarya, kakek Srintil, protes lantaran adat membakar dupa dan syarat-syarat lainnya sebelum pentas ronggeng dilarang oleh panitia saat pementasan untuk memeriahkan acara 17 Agustusan di Kecamatan Dawuan). Bagi Sakarya, seorang kamitua Dukuh Paruk, melakukan upacara sebelum pementasan ronggeng adalah cara yang mesti dilakukan sebagai bagian dari adat kepercayaan-Nya pada roh Ki Secamenggala yang mengayomi hidup orang-orang Dukuh Paruk beserta dengan tradisi luhurnya.

Sedemikian penting arti Ki Secamenggala bagi hidup orang-orang Dukuh Paruk, maka peristiwa perusakan cungkup makam Ki Secemenggala oleh orang-orang yang tak dikenal menjadi begitu terluka dan membuat mereka amat marah. Makam Ki Secamenggala, bagi mereka, bukan sekadar tempat peristirahatan leluhur, melainkan tempat di mana mereka menjalin hubungan pribadi dengan roh leluhur yang mereka percayai sebagai pengayom dan pelestari pedukuhan mereka. Orang-orang di luar Dukuh Paruk bisa saja tidak memahami alam pikir kepercayaan mereka. Akan tetapi yang jelas keyakinan itulah yang melingkupi alam pikir orang-orang Dukuh Paruk. Maka tepatlah apa yang ditulis oleh Pesckhe, “Iman membuka jalan untuk mengenal seorang pribadi. Iman ialah cara kita mengenal dan mengerti pribadi. Malahan bisa dikatakan, tanpa iman kenyataan dan rahasia lebih dalam dan sesungguhnya dari pribadi bersangkutan tetap tertutup” (Karl-Heinz Pesckhe, Etika Kristiani Jilid II, 2003, 10). Siapa Ki Secamenggala bagi orang di luar Dukuh Paruk bisa menjadi tidak berarti, dan karenanya mereka bisa tanpa tedeng aling-aling merusak makamnya, tapi tidak demikian halnya bagi orang Dukuh Paruk. Lantaran hubungan pribadi mereka dengan roh Ki Secamenggala, makamnya berarti segala-galanya dalam hidup mereka. Merusak makam Ki Secamenggala berarti juga melukai orang-orang Dukuh Paruk tepat di sisinya yang paling peka.

Sementara itu, dalam Novel “Ronggeng Dukuh Paruk”, keutamaan iman juga nampak dalam diri Rasus. Rasus adalah pemuda keturunan Dukuh Paruk yang meninggalkan pedukuhannya lantaran marah dengan adat tanah kelahirannya yang “memaksa” Srintil menjadi ronggeng, menjadi perempuan bagi banyak orang (lelaki). Nasib kemudian menuntunnya menjadi seorang tentara. Sebelumnya, sama seperti orang Dukuh Paruk lainnya, iman Rasus adalah iman animisme. Namun, ketika menjadi seorang tentara, Rasus memeluk iman yang baru, yakni iman pada Allah dalam agama Islam. Menurut Thomas Aquinas, iman mengandung kepercayaan internal dan pengakuan eksternal akan kepercayaan itu. Demikianlah, Rasus yang telah memeluk Islam, mengakukan iman kepercayaannya dalam detik-detik kematian neneknya. La ilaha illallah, demikian ucap Rasus melepas kepergiaan neneknya untuk selama-lamanya. Sebuah kalimat samawi yang baru sekali terdengar diucapkan orang di Dukuh Paruk. Dalam kata-kata itu, Rasus memasrahakan apa yang terjadi pada kehendak Allah, junjungan imannya. Hal yang serupa juga ia lakukan manakala ia melihat keadaan Srintil yang terpuruk dan berada di titik nadir kemanusiaan.

Dalam imannya yang baru, Rasus memercayakan segala sesuatunya pada Allahnya. Malapetaka demi malapetaka yang menimpa Dukuh Paruk dan terutama Srintil, perempuan yang dicintainya, menuntun Rasus untuk berserah diri. Pesckhe menulis, “Pada tempat pertama iman adalah ketaatan penuh kepercayaan, penuh kerendahan hati dan penyerahan pribadi manusia kepada Allah. Di dalam iman tercakup kerelaan untuk menerima kehendak dan firman Allah (Karl-Heinz Pesckhe, ibid, 15). Kepercayaan, ketaatan, dan penyerahan diri pada Allah itu ditampakkan secara jelas oleh Rasus dengan tindakannya untuk bersembahyang. Ia berdoa untuk Dukuh Paruk agar sadar dan bangkit dari kebodohannya. Dan, dengan air mata yang berjatuhan, ia berdoa memohon pada Allah kiranya Srintil mendapat kesempatan kembali untuk memanusia dan mampu memakhluk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun