PELARANGAN BUKU ERA REFORMASI;
RUTINITAS KUASA ATAWA PRAKTIK OTORITARIANISME LUNAK?
Kisah tentang pelarangan buku pada masa reformasi ini memang berbeda bila dibandingkan dengan rezim sebelumnya. Pembedanya adalah pada soal “kehebohan” dan pada soal ritus-ritus kekuasaan serta reaksi-reaksi perlawanan yang mengikutinya. Semasa rezim Suharto pelarangan-pelarangan terhadap apapun yang menjadi hak berekspresi dan mengemukakan pendapat dalam berbagai bentuk, baik itu berupa media cetakan, ekspresi seni seperti teater, film bahkan konser musik menjadi sesuatu yang “menghebohkan” dengan menjadi berita-berita yang bertabur di media, diawali dengan “ritual” sang pemegang otoritas menyiarkannya di depan para pemburu berita.
Kisah dari reaksi perlawanan dari kebijakan rezim juga menjadi kisah yang heroik dan romantis. Kalau buku yang dilarang, maka segeralah beredar di jaringan-jaringan bawah tanah sebagai distributor paling kreatif sepanjang jaman. Mesin fotokopi dan stensil menjadi piranti yang menjadi menjadi daya dukung paling operatif. Orang-orang yang bekerja sebagai jejaring bawah tanah maupun para pembaca yang “berjuang” untuk mendapatkan karya dari seseorang yang dilarang, mengalami ketegangan sensasional yang mungkin itu tidak bisa didapatkan lagi sepanjang kehidupannya. Bahkan proses membaca buku terlarang adalah pengalaman terlibat sebagai bagian dari aksi “perlawanan”, sehingga tidak heran apabila proses literasi terhadap buku-buku yang dilarang menjadi berbeda bila dibandingkan dengan membaca sebuah buku yang demikian “mudah” di dapatkan di toko-toko buku ataupun di perpustakaan-perpustakaan.
Demikian halnya apabila yang dilarang itu adalah ekspresi seni seperti teater atau musik, maka segala hal yang berhubungan dengan produk sang tokoh seperti kumpulan puisi, naskah drama, kaset bahkan poster-posternya menjadi buruan bagi para penikmat dan penggemarnya. Poster-poster diri yang ditempel pada sudut-sudut dinding kamar pribadi maupun kamar kos adalah bagian dari pengalaman terlibat pemihakan kepada sang empunya karya, sesekali apabila pentas si empu karya diperbolehkan oleh pemilik otoritas kekuasaan maka tidak menyisakan sedikitpun ruang kosong alias penuh gegap gempita dan mengharu biru, penuhnya pentas-pentas Rendra dan Iwan Fals adalah salah satu kisah dari reaksi-reaksi perlawanan di masa rezim Orde Baru.
Atmosfir seperti inilah yang kemudian hilang ketika pergantian Orde, dan memang dalam catatan Tim Advokasi Tolak Pelarangan Buku sejak Reformasi Mei 1998 sampai 2005, otoritas pelarang buku, Kejaksaan Agung, tidak pernah melakukan pelarangan buku dan juga tidak mencabut Keputusan Kejaksaan Agung sewaktu Orde Baru yang melarang peredaran buku-buku. Sementara, buku-buku yang dilarang sewaktu Orde Baru sudah bisa dinikmati oleh para pembacanya secara bebas di toko-toko buku bahkan di perpustakaan-perpustakaan sekolah maupun umum. Baru kemudian pada 5 Maret 2007 Kejaksaan Agung melarang 22 buku pelajaran sejarah sekolah dari 11 penerbit dengan alasan :
“ bahwa barang cetakan/buku-buku teks pelajaran Sejarah SMP/MTs dan SMA/MA/SMK yang mengacu pada “Kurikulum 2004” tidak sepenuhnya mencatat fakta kebenaran sejarah bangsa Indonesia antara lain Peristiwa Pemberontakan PKI Madiun Tahun 1948 dan Peristiwa Pemberontakan PKI Tahun 1965 hanya memuat keterlibatan G.30.S tanpa menyebut keterlibatan PKI, hal tersebut merupakan pemutarbalikan fakta sejarah sehingga dapat menimbulkan kerawanan, terutama dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa”.
Disusul dengan keputusan pelarangan buku pada 22 Desember 2009, dimana Kejaksaan Agung melarang buku karya John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal; Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto. Buku karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, Lekra tak Membakar Buku; Suara Senyap Lembar Kebudayaan, Harian Rakjat 1950-1965. Buku Karya Socratez Sofyan Yoman, Suara Gereja Bagi Umat Tertindas Penderitaan, Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat harus Diakhiri. Buku karya Darmawan, MM, Enam Jalan Menuju Tuhan. Buku karya Drs. Syahrudin Ahmad, Mengungkap Misteri Keberagaman Agama.
Dalam kasus pelarangan buku-buku pada masa reformasi ini dasar yang dipakai adalah sama dengan rezim orde baru yaitu bersumber pada UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Tetapi kehebohan dari ritus dan reaksinya berbeda ketika jaman rezim Soeharto. Tentu kalau kita menggunakan logika yang simetris pada rezim kali ini dengan presiden yang bergelar akademis seorang doctor tidak seharusnya melakukan kebijakan-kebijakan yang berlawanan sebagai seorang akademia yang meletakkan ilmu pengetahuan sebagai kebijaksanaan tertinggi. Ataukah justru ini sebagai justifikasi bagi carut marutnya dunia akademis kita? Atau juga rezim ini “belajar” dari awal reformasi, dimana kelompok atau pihak yang terganggu “kebenaran subyektif”nya menyeponsori sweeping-sweeping yang dilakukan kelompok para militer ke toko-toko buku, sehingga daripada kelompok tertentu yang berbuat maka aparat negara yang memulainya lebih dahulu?
Secara nature melihat judul-judul buku yang dilarang semasa rezim SBY ini sebenarnya tidak beranjak jauh dari watak negara Orde Baru, yaitu tentang integrasi yang dimaknai sebagai nasionalisme kaku, tentang anti komunis yang dimaknai sebagai pelanggengan warisan stigmatisasi, dan tentang keyakinan dalam beragama yang dimaknai sebagai harmonisasi terkontrol. Menjadi pertanyaan buat kita semua adalah, kenapa kalau dahulu peristiwa seperti ini menjadi penting dan “heboh”, tetapi saat ini seperti menjadi suatu keseharian yang biasa? Seperti halnya kita mendengar berita orang tewas minum oplosan atau mati karena ledakan tabung gas yang muncul dalam berita-berita?
Hampir-hampir berita tentang pelarangan buku-buku ini terselip di antara berita-berita “besar” lainnya, tentang hiruk pikuk segala hal yang seolah-olah menjadi prioritas negara, yaitu korupsi. Seingat saya tidak ada “ritus” negara ketika pelarangan itu terjadi, kalaupun ada menjadi kolom kecil di surat kabar atau menjadi running text di televisi. Walaupun pernah satu ketika muncul di acara talkshow paling laris Kick Andy tetapi tidak begitu membuat banyak orang merasa bahwa ini adalah sesuatu yang penting, sesuatu yang mengancam hak-hak kita untuk berekspresi, berpendapat dan mendapatkan informasi. Justru sedikit perhatian tertuju ketika “kamar sebelah”, Undang-undang PNPS tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan Penodaan Agama diajukan untuk judicial review ke Mahkamah Konstitusi, hasilnya juga sudah kita ketahui bersama, tetap melanggengkan harmoni yang terkontrol oleh negara.
Pertanyaan lain yang perlu kita renungkan bersama adalah kenapa rezim ini mengeluarkan kebijakan yang tidak popular dan cenderung mubadzir dengan melarang kembali buku-buku, seperti halnya Orde Baru? Saya kira rezim ini sangat paham dan belajar dari rejim pendahulunya, bahwa melarang buku adalah tindakan yang tidak efektif. Kalaupun mau sebenarnya rezim ini bisa melakukan proses selanjutnya setelah pelarangan, yaitu menangkap barangsiapa yang masih mengedarkan buku-buku yang dilarang, seperti halnya dulu Orde Baru menangkap para pengedar buku. Tetapi kalau sekarang kita pergi ke toko buku, beberapa buku yang dilarang itu toh masih mudah ditemukan dan diperjualbelikan. Di samping juga jenis media yang beragam saat ini, bisa memungkinkan penerbitan buku dan distribusinya tidak lagi konvensional, teknologi merubah bentuk buku menjadi bentuk digital e-book yang dapat diunduh oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Jadi apakah ini hanya sekedar keputusan yang rutin untuk menjaga state national project warisan Orde Baru tentang aspirasi Nasionalisme, Anti Komunis dan Harmonisasi Beragama dan Berkeyakinan? Atau justru dari kasus pelarangan buku yang terjadi saat ini bisa memberi jawab tentang watak rezim yang berkuasa?
Membaca ini semua saya teringat dan mengamini analisis awal Cornelys Lay , bahwa rezim saat ini sedang mengkonsolidasi diri dan bekerja dengan metode stick and carrot. Hanya saja menggunakan pendekatan yang berbeda dengan rezim sebelumnya. Kalau dulu melarang buku dan menggunakan pendekatan coercive, sekarang melarang buku tetapi tidak menggunakan pendekatan coercive tetapi justru membuka ruang demokrasi prosedural, seperti mempersilahkan yang dirugikan untuk mengajukan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi. Hasil akhir dari keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat mengikat inilah, yang nantinya menjadi dalih kepada orang-orang yang berlawanan untuk “taat” dan “patuh” dengan mekanisme demokrasi. Cara kerja seperti inilah yang menurut Cornelys Lay, menjadi watak rezim yang saat ini sedang mengkonsolidasikan diri menjadi rezim otoritarianisme lunak. Jadi penyikapan kita tidak hanya soal bagaimana melawan pelarangan buku ini. Tetapi lebih jauh dari itu bagaimana seharusnya kita melakukan penyikapan terhadap rezim yang tengah berkonsolidasi ini? Jika tidak, kita akan menemui jalan yang sama seperti halnya Undang-undang PNPS tentang Penodaan Agama kemarin.
*Sebagai pengantar “Diskusi Publik Pelarangan Buku; Menutup Jendela Dunia”, diselenggarakan oleh Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam),Friedrich Naumann Stiftung (FNS) dan Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta, 31 Mei 2010.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H