"Menafsir” Sepak Bola dalam Politik Indonesia
PSSI vs Uruguay
Kabar tentang pertandingan sepakbola persahabatan Indonesia-Uruguay baru saya dengar beberapa hari yang lalu, maklumilah sebagai buruh serabutan saya kadang tak cukup waktu untuk baca Koran. Hanya menjelang tidur saja kadang saya nyalakan televisi untuk sedikit nonton berita yang merangkum peristiwa Indonesia seharian. Pas saya nyalakan ternyata berita olahraga,”menjelang pertandingan Indonesia-Uruguay” muncul wawancara Nurdin Halid yang intinya begini,”pertandingan ini adalah hasil dari kunjungan saya ke Uruguay beberapa bulan yang lalu,saya bertemu presiden sepakbola Uruguay”,pikir saya orang ini hebat benar,nggak ada matinya,digoyang kanan-kiri,atas bawah ,nggak jatuh-jatuh juga.Makanya saya menantang mahasiswa Indonesia yang udah pengalaman nurunin presiden lalim,bisa nggak nurunin Ketua PSSI ini hehehehe
Menjelang pertandinga n pas online dengan seorang teman,dia mengingatkan bahwa kick off Indonesia-Uruguay 5 jam lagi,saya lihat jam 3an sore,piker saya berarti nanti malam jam 8 malam akan disiarkan permainan (karena nggak tanding,jadi nggak disebut pertandingan) sepak bola ini. Nah,ketika saya di tempat kerja iseng main ke belakang, tempat teman saya Muryanto a.k.a Pak Kabe menonton tv. Ternyata Kabe yang biasanya nggak pakai kacamata kali ini memakai kacamatanya untuk menonton tv,biasanya kacamata dipakainya ketika menonton acara serius,seserius sepak bola liga-liga dunia yang dia gandrungi.Benar juga,ternyata dia sedang melihat pertandingan sepakbola Indonesia-Uruguay yang udah berjalan beberapa menit. Dari awal saya sudah tidak begitu tertarik dengan pertandingan ini,mengingat Uruguay adalah team debutan Piala Dunia beberapa bulan yang lalu,sedangkan Indonesia di arena Sea Games yang hanya tingkat Asia Tenggara saja kalah ama Birma. Saya kira sihir nasionalisme dalam pertandingan ini ingin dibangun oleh penguasa kali ini. Mengingat dalam beberapa bulan ini kosa kata “harga diri bangsa” seringkali muncul untuk dihadapkan dengan Negara lain seperti Malaysia dan yang terakhir Belanda.
Tapi saya menjadi agak berminat menonton laga ini setelah melihat sorotan kamera pada presiden dan ibu Negara yang berkaos merah putih menonton pasukan sepakbola negeri ini. Menarik menurut saya,karena di tengah rakyatnya di Wasior Papua sedang butuh sentuhan seorang pemimpin akibat banjir bandang,ternyata pemimpinnya malah melihat sepak bola. Kedua, dalam batin saya hebat juga si Nurdin Halid melobi SBY untuk menonton sepakbola ini,sampai-sampai harus batalin kunjungan penting ke Belanda dimana Indonesia akan diakui oleh ratu belanda kedaulatannya. Dari situ saya mulai menata-nata alat analisis media,sebagai senjata paling ampuh dari presiden Indonesia kali ini. Setelah lima menit pertandingan berjalan team kita bisa mengimbangi permainan Uruguay,sampai pada satu saat Boaz Salosa dapat begitu mudahnya menaklukkan kipper Uruguay. Melihat goal itu saya juga nggak surprise banget,karena melihat gerak lambatnya sepertinya memang pemain Uruguay sengaja memberikan peluang Indonesia untuk bikin goal,pengawalan pemain belakang yang tidak begitu ketat dan cara kiper Juan Cardillo bereaksi keliatan seperti membiarkan. Tapi Boaz memang paling kelihatan sering memainkan bola dibanding Bambang pamungkas sebagai striker.Boaz keliatan lebih menonjol daripada pemain lainnya. Kamera tv langsung mengarah ke presiden dan ibu Negara yang bertepuk tangan dan keliatan gembira. Mainan presiden ini emang wajah berseri dan kamera,cukup menyihir orang untuk terpesona dengannya. Saya kemudian ingat ternyata yang menayangkan pertandingan ini secara live ternyata milik grup Bakrie.
Dalam analisis saya, ada tiga actor yang sedang mencoba membangun citra buat para penonton nasionalis Indonesia,yaitu SBY,Bakrie dan Nurdin Halid. Melihat hubungan-hubungan tiga actor ini sebelumnya tidak menunjukkan kalau ini adalah sebuah “persekutuan” tapi ini hubungan saling memanfaatkan dan bahkan saling “memainkan”. SBY dalam konteks ini menonton sebagai bagian dari membangun “harga diri bangsa” yang walaupun demikian keputusannya hadir disini tidak dengan keputusan yang naïf,sekedar member semangat kepada rakyatnya, tentu sebagai presiden dia sudah mendapatkan laporan-laporan tentang persiapan,pelaksanaan bahkan mungkin prediksi hasil permainan. Selama ini hubungan Bakrie dan SBY tidaklah sebagus sebelum Bakrie jadi Ketua Sekber Koalisi,semenjak jadi Ketua Sekber Bakrie lebih sering “dikerjai” oleh presiden daripada “mengerjai”. Praktis seringnya dipermalukan membuat Bakrie yang raja media tak kurang akal untuk ganti mengerjain,melalui tangan Nurdin Halid yang Ketua umum PSSI terkuat sepanjang masa dia memback up penuh sponsor pertandingan. Sebelum dan ketika pertandingan di menit-menit awal kelihatannya soal mendatangkan pemain kelas dunia ini tidaklah bermasalah. Dalam hati saya, kalau selisih nanti hanya 1 poin tipis dengan Indonesia atau bahkan terjadi imbang maka bayaran untuk kesebelasan Uruguay tentu akan sangat besar karena mengorbankan nama besar mereka sebagai klub yang di urutan 7 dunia. Melihat awal pertandingan saya memang menyangsikan Uruguay bermain dengan performa terbaik,seolah-olah memang sudah diatur untuk pengimbangan terhadap Indonesia,apalagi ketika melihat goal yang disesakkan Boaz di gawang Uruguay seperti kesengajaan dibiarkan. Karena Indonesia punya pengalaman sebagai negeri yang bisa “membeli” apapun maka saya agak sangsi pada Uruguay,tapi ketika tahu Diego Forland yang jadi pemain terbaik dunia tidak datang,kesangsian saya agak mereda.Artinya pebotoh dan politisi sepakbola tidak bisa membayar harga dari pemain sepakbola papan atas yang mungkin harganya bisa menyamai mendatangkan kesebelasan satu Negara.
Dan benar juga setelah satu goal dimasukkan ke gawang Uruguay,Uruguay seperti memberikan “permen” pada anak-anak manis Indonesia. Tradisi Amerika Latin dengan kebudayaan Indian yang memang berpegang pada harga diri tidak memberikan kesempatan team kita untuk bernapas,bahkan sampai peluit akhir pun mereka bermain dengan begitu percaya diri dan menunjukkan sebagai kelasnya,hasil 7-1 adalah pembuktian bahwa uang tidak bisa membeli kebanggaan nasional,national pride, bangsa Uruguay. Goal demi goal memperlihatkan wajah Nurdin Halid yang bersanding dengan Andi Malarangeng tampak kecut. Dia tidak menemani presiden karena hubungannya dengan presiden sedang tidak harmonis semenjak presiden merestui diselenggarakannya Konggres Sepakbola Indonesia yang diketuai Agum Gumelar yang pada intinya ingin melengserkan Nurdin dari Ketum PSSI. Setelah goal demi goal masuk ke gawang Indonesia saya tidak menyaksikan kamera mengambil gambar presiden,entah dia mungkin sudah pulang ketika skor tadi 4-1,karena sebagai presiden tentu dia tidak akan mau memalukan diri sendiri sampai melihat kesebelasan negaranya tergunduli secara telak.
Mungkin presiden akan sedikit malu,tapi tidaklah semalu Nurdin atau Nugraha Besus pada malam ini. Dan karena hasil ini pula besok hari presiden semakin punya alasan yang kuat untuk “menurunkan” duet Nurdin dan Nugraha Besus sebagai penguasa PSSI. Nurdin yang begitu percaya pada Bakrie akhirnya harus meratapi dirinya sendiri ketika sayup-sayup di tribun para penonton berteriak,”Nurdin Mundur!”, “Nurdin Mundur!”….Tapi tentu tidaklah semudah itu,karena mundurnya Nurdin bisa jadi ini juga “kekalahan” Bakrie untuk kesekian kalinya “dikerjai”….Kalau saya sih,ketiga-tiganya lebih baik mundur…ketiganya nggak pernah bikin bangga saya sebagai warga Negara Indonesia,titik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H