Antara Pasar dan Waktu";Ibadah Massal sebagai Penggerak Mesin Ekonomi
Saya menuliskan ini,sambil ditemani suara televisi pada minggu pagi ketika bulan puasa sudah memasuki hari ke-20,menjelang lebaran. Ketika puasa belum juga tiba,suara iklan televisi sebulan sebelumnya juga sudah bergegap gempita dengan iklan-iklan ramadhan, dari makanan, operator telpon, obat maag, sabun dan segala macamnya.Ketika bulan puasa tiba,semua membombardir mata dan telinga orang Indonesia yang sedang berpuasa. Saat yang paling penuh dengan iklan-iklan ini dalam analisis permukaan saya justru di saat orang-orang bangun sahur. Dibandingkan dengan saat buka puasa,saat sahur adalah prime time dalam iklan masa ramadhan (kebenarannya bisa dichek dengan AC Nielsen).
Dengan persinggungan di permukaan ini, tanpa niat dan tindakan serius untuk mengkaji realitas ini saya hanya menyimpulkan bahwa ketika jam biologis manusia berubah maka hukum pasar "bahwa manusia yang hidup adalah mahluk ekonomi" menjadi berlaku untuk konteks ritual keagamaan massal ini. Masa puasa "jam hidup" manusia menjadi lebih panjang,sedangkan "jam tidur" menjadi lebih pendek. Kalau orang rata-rata tidur jam 10 dan bangun jam 5 pagi dalam bulan biasa,maka dalam bulan puasa jam tidur orang menjadi lebih pendek karena bangun sahur.
Manusia yang hidup adalah target sekaligus juga pelaku dari pasar,sedangkan "mahluk yang tidur" membuat pasar berhenti bahkan kehidupan berhenti untuk sejenak.Maka semakin panjang kita memelihara "waktu hidup" maka kita tak bisa keluar dari hiruk pikur pasar yang siap menyeret siapa saja dengan fitrah sebagai mahluk ekonomi untuk menyalurkan hasrat (keinginan),berbelanja dan berkonsumsi. Tak ada yang perlu disesali dengan semuanya,karena itu juga sudah dalam wilayah hukum yang seharusnya terjadi. Hanya saja, karena ini terjadi di Indonesia,dimana manusia yang tidak siap dan tidak sadar hidup di dunia pasar yang penuh hiruk pikuk,dimana manusia hanya sekedar deretan harga,menjadi lapisan mayoritas,sementara yang sadar akan genggaman pasar menjadi minoritas,maka pelukan pasar tetap akan lebih kuat daripada pelukan kalimat-kalimat suci.
Selamat merenung!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H