Selain itu, kembali diungkapkan Prof. Henry, National Anti Drugs Agency (NADA Malaysia) juga menyatakan bahwa di Malaysia pada tanggal 01 Agustus 2016, Islamic Legal Consultative Committee of Federal Territories, memutuskan bahwa "Usulan Penanaman Pohon Kratom dilarang" dan bahaya yang lebih besar daripada manfaatnya.
Di Myanmar, kata Prof. Henry, kratom dinyatakan sebagai obat terlarang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika serta Peraturan Kementerian Kesehatan Myanmar "Pelaku pelanggaran diancam dengan pidana 5 hingga 10 tahun penjara".
"Penjelasan saya ini hubungkan
dengan pernyataan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal TNI (Purn) Dr. Moeldoko yang menyebutkan "Menteri Kesehatan mengatakan bahwa kratom tidak masuk kategori Narkotika" adalah pernyataan yang keliru dan menyesatkan, karena pernyataan itu memberikan kesan bahwa Pemerintah Indonesia tidak menganggap kratom sebagai narkotika, sehingga kratom merupakan barang yang halal dan boleh digunakan untuk keperluan apa saja (tidak ubahnya seperti daun singkong)," imbuh Prof. Henry.
Ia menilai KSP Moeldoko menutup mata serta tidak memperdulikan Rekomendasi dari Komite Nasional Perubahan Penggolongan
Narkotika dan Psikotropika yang merekomendasikan bahwa kratom merupakan Narkotika Golongan I. Dan tidak memperdulikan Surat Edaran Kepala BNN RI Nomor B/3985/X/KAKPLO2/2019/BNN tahun 2019 yang menyatakan kratom sebagai narkotika Golongan 1 dan juga tidak memperdulikan rekomendasi serta pendapat dari Lembaga Internasional yang menyatakan kratom memiliki potensi penyalahgunaan dan pengguna dapat mengalami efek kesehatan yang fatal sehingga kratom tetap menjadi obat terlarang.
Â
"Dari seluruh rangkaian penjelasan KSP Moeldoko dalam keterangan persnya
itu, saya tidak melihat sisi manfaat dari kratom kecuali "salah satu unsur dari kratom sebagai obat kanker dan anti nyeri", selebihnya "tersirat" adanya kepentingan lain yaitu keuntungan secara materi dari budi daya dan ekspor kratom dari sisi devisa yang tidak dijelaskan secara komprehensif, sehingga dapat menimbulkan pertanyaan bahkan kecurigaan bahwa tidak dimasukkannya kratom sebagai Narkotika Golongan I dan akan dibuatnya tata Kelola dan tata niaga kratom hanya akan menguntungkan pihak tertentu karena ini dianggap sebagai bisnis raksasa," beber Prof. Henry.
Hal tersebut, lanjut dia, dikaitkan dengan pernyataan KSP Moeldoko yang menyatakan bahwa "Kementerian Perdagangan akan menentukan ekportir terbatas agar kualitas bisa terjaga dengan baik". Pernyataan KSP Moeldoko yang menyatakan bahwa "Menunggu hasil riset untuk menentukan kratom berbahaya atau tidak, karena kalau berbahaya-nya hanya bila dikonsumsi dalam jumlah besar, maka akan sama masalahnya dengan kopi, rokok dan tembakau".
"Pernyataan tersebut saya anggap mengandung makna "bahwa kalaupun dikonsumsi dalam jumlah besar, hal itu juga tidak dilarang (karena tidak berbahaya). Karena kratom itu sama halnya dengan kopi, rokok dan tembakau". Apalagi kalau dikonsumsi dalam jumlah kecil (sudah barang tentu tidak akan menimbulkan bahaya, oleh karenanya mengkonsumsi dalam jumlah yang besar maupun dalam jumlah yang kecil tidak akan dilarang," pungkas Prof. Henry.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H