Anggota DPR RI H. KRH. Henry Yosodiningrat, SH - foto: satuharapan.com
Anggota DPR H. KRH. Henry Yosodiningrat, SH dalam Dialog Bersama Menteri Keuangan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta, Kamis (22/10) malam mengungkapkan penolakannya terhadap kebijakan Pemerintah terkait Pengampunan Pajak (Tax Amnesty).
“Saya tertarik dengan salah satu topik malam ini kaitannya dengan tax amnesty, yang di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI masih dalam tahap awal pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Nasional. Dimana RUU ini diajukan oleh sekelompok Anggota DPR RI. Kebetulan saya sebagai anggota DPR RI, tapi saya tidak mendukung RUU tersebut. Dan saya berharap kita semua lebih bijak mencermati dan mendalami RUU ini,” ucapnya.
Penolakan Henry semakin tegas setelah ia dengan seksama membaca draft RUU tersebut. Terutama dalam Pasal 10, disebutkan bahwa baik perseorangan maupun badan yang melaporkan maka selain memperoleh fasilitas di bidang pajak, mereka juga memperoleh pengampunan tindak pidana terkait perolehan kekayaan.
“Kemudian, di dalam rancangan dijelaskan, bahwa penjelasan umum dari RUU itu disebutkan antara lain, terdapat berbagai kejahatan masa lampau yang berkaitan dengan uang / dana hasil tindak pidana, yang diduga belum selesai ditangani oleh instansi penegak hukum, karena instansi penegak hukum kesulitan untuk membuktikan asal aliran dana hasil tindak pidana tersebut
Ada pun tindak pidana yang dimaksud dalam RUU tersebut antara lain: tindak pidana korupsi, pencucian uang, pembalakan liar, perikanan dan kelautan, perbankan, kepabeanan, perjudian, dan penanaman modal.
“Artinya, kita akan memberlakukan atau membuat suatu UU yang kalau saya tidak salah menafsirkan, bisa kita artikan: Hai perampok, hai penjahat, kalian lakukanlah kejahatan di negeri ini. Kalian boleh menebang hutan hingga gundul mengakibatkan banjir, kalian boleh mencuri ikan, kalian boleh melakukan usaha perjudian, kalian boleh melakukan kejahatan kepabeanan, kalian boleh korupsi, kalian boleh melakukan kejahatan pencucian uang dan sebagainya, kemudian kalian lari ke luar negeri sebentar. Lalu laporkan itu dan kalau kalian buron maka kalian boleh pulang.
Uang hasil kejahatan kalian itu tidak kami disita apalagi dirampas, dan kau bebas dari tuntutan pidana, kalian hanya membayar tebusan paling banyak 8% dari nilai uang atau kekayaan hasil kejahatan itu" ungkap Henry dengan nada tinggi dan kesal.
Mereka, lanjut dia, hanya dikenakan kewajiban menebus istilahnya, sampai dengan waktu-waktu tertentu, dimana terdapat sejumlah pengelompokkan tarif uang tebusan berdasarkan periode Surat Permohonan Pengampunan Nasional yaitu sebesar 3 persen, 5 persen dan 8 persen berdasarkan harta yang dilaporkan.
“Padahal kalau kita lihat, hal ini bertentangan dengan semangat pemberantasan tindak pidana korupsi, semangat bagaimana kita menciptakan Indonesia yang bermartabat. Mungkin kita berbeda sudut pandang. Saya tidak melihatnya dari sudut pandang penerimaan negara saja. Tapi saya lebih melihatnya agar bangsa kita menjadi bangsa yang betul-betul beradab,” tegas Henry.