"Menuju Pengelolaan Wisata Alam Berkelanjutan: Memperhatikan Kelestarian dan Dampak Lingkungan"
Pengelolaan Wisata Alam yang Berorientasi pada Kelestarian
Pengelolaan wisata alam yang berorientasi pada kelestarian adalah cara yang lebih bijak dalam mengelola sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui.Â
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menjadi tujuan wisata yang populer di dunia, dengan potensi wisata alam yang sangat besar.Â
Namun, pengelolaan wisata alam yang tidak berorientasi pada kelestarian dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan mengurangi nilai keindahan alam.
Pentingnya Pengelolaan Wisata Alam yang Berorientasi pada Kelestarian
Pengelolaan wisata alam yang berorientasi pada kelestarian sangat penting karena beberapa alasan. Pertama, kelestarian ekosistem yang berorientasi pada kelestarian dapat menjaga keberlanjutan daya tarik wisata alam.Â
Kedua, pengelolaan wisata alam yang berorientasi pada kelestarian dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan hidup.Â
Ketiga, pengelolaan wisata alam yang berorientasi pada kelestarian dapat meningkatkan pendapatan masyarakat setempat melalui pendapatan asli daerah (PAD) yang lebih tinggi.
Pasca kejadian Covid 19, Indonesia kembali mendapat perhatian dunia internasional. UNESCO telah meminta pemerintah menghentikan proyek pembangunan infrastruktur pariwisata di Taman Nasional Komodo.Â
Perkembangan tersebut dinilai berbahaya bagi lingkungan dan mengganggu habitat komodo. Mereka bahkan tidak melakukan studi dampak lingkungan.
Permohonan UNESCO menemukan sisi baik dan buruk di negara ini. Kegiatan lingkungan hidup nampaknya mendapat angin segar, padahal Gubernur NTT menyatakan semua aspek, termasuk lingkungan hidup, diperhatikan dalam pembangunan.
Pemerintah sebaiknya menjadikan peringatan UNESCO sebagai peringatan ketika menyelenggarakan wisata alam. Pengelolaan wisata satwa liar harus fokus pada kelestarian ekosistem dan bukan semata-mata pada tujuan finansial.Â
Keberlanjutan menjaga kelestarian alam sehingga manfaat ekonomi terus berlanjut. Namun jika pengembangan lahan juga mempertimbangkan lingkungan hidup, manfaatnya hanya dapat dilihat dalam jangka pendek.
Potensi wisata alam
Indonesia disebut sebagai zamrud khatulistiwa karena keindahan alam dan keanekaragaman hayatinya. Julukan ini menjadikan beberapa daya tarik tersendiri bagi wisatawan mancanegara.Â
Bali, Wakatobi, Raja Ampat, Lombok, Labuan Bajo atau Bunaken adalah contoh tempat wisata kelas dunia. Pengelolaan modal khusus ini harus diperlakukan sebagai sumber daya tak terbarukan.
Sebelum pandemi COVID-19, pariwisata memainkan peran penting dalam perekonomian Indonesia. Berdasarkan informasi Kementerian Pariwisata, pangsa sektor pariwisata terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2019 sebesar 4,8 persen. 12,7 orang atau 10 persen dari total penduduk bekerja bekerja di industri pariwisata.
Selain itu, besarnya pendapatan moneter suatu negara tidak dapat dianggap remeh. Pada tahun 2018, mata uang sektor ini sebesar Rp 229 triliun. Kondisi ini menimbulkan keinginan banyak pihak untuk mendapatkan keuntungan finansial dari industri pariwisata.
Daya dukung
Pengelola pariwisata harus mempertimbangkan daya dukung dalam menunjang wisatawan yang berkunjung.Â
Konsep daya dukung adalah kemampuan lingkungan hidup dalam menunjang kehidupan manusia, makhluk hidup lain dan keseimbangan antara keduanya (UU Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009).
Ekosistem yang merupakan destinasi wisata alam mempunyai keterbatasan tertentu untuk menunjang kegiatan pariwisata. Melebihi batas tersebut dapat merusak dan mengganggu ekosistem.
Pembangunan infrastruktur wisata bertujuan untuk membangkitkan minat sehingga meningkatkan jumlah wisatawan. Peningkatan tersebut dikhawatirkan akan meningkatkan tekanan terhadap lingkungan.Â
Selain itu, pembangunan juga mengubah fungsi tanah yang seharusnya mempunyai fungsi protektif, seperti menyerap air atau mencegah tanah longsor. Pembangunan infrastruktur pariwisata, khususnya dampaknya terhadap lingkungan, harus dikaji lebih mendalam.
Pemerintah hendaknya tidak hanya melihat jumlah pengunjung sebagai indikator keberhasilan pengelolaan pariwisata.Â
Terlalu banyak wisatawan dapat menimbulkan dampak negatif, seperti kerusakan alam, stres terhadap flora dan fauna, atau timbulan sampah. Apabila kondisi ini tidak terpenuhi maka akan mengurangi kenyamanan dan menimbulkan kekecewaan wisatawan.
Selain itu, terlalu banyak wisatawan yang tidak terkendali juga memberikan dampak negatif. Pengawasan yang lemah dapat menimbulkan perilaku wisatawan yang tidak bertanggung jawab.Â
Tempat wisata seringkali dirusak atau dilanggar. Apalagi sejak munculnya media sosial, banyak wisatawan yang sekadar mengikuti tren tanpa mempertimbangkan dampaknya.
Dua kerugian terbesar adalah ketika wisata alam dieksploitasi tanpa memperhatikan daya dukungnya.Â
Pertama, manfaat ekonomi berkurang ketika jumlah wisatawan menurun akibat rusaknya atau hilangnya obyek wisata alam. Masyarakat kehilangan sebagian pendapatannya dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurun.
Kerugian lainnya adalah hilangnya keindahan alam dan keanekaragaman hayati. Pariwisata dikhawatirkan akan mengganggu habitat flora dan fauna langka.Â
Apalagi komodo merupakan hewan purba dan hanya dapat ditemukan di Pulau Komodo. Inilah kekhawatiran terbesar para aktivis lingkungan hidup.
Banyak contoh kawasan wisata yang fungsi ekosistemnya memburuk akibat kunjungan wisatawan massal. Dalam bukunya Overtourism and Tourismphobia, Cladio Milano berbicara tentang dampak negatif yang sangat besar dari wisatawan di Venesia.Â
Kunjungan yang berlebihan merusak pemandangan dan fondasi bangunan bersejarah. Maladewa menderita masalah sampah karena semakin banyaknya wisatawan, sementara tempat pembuangan sampah terbatas.
Perubahan arah
Pemerintah harus mengkaji ulang arah pengelolaan wisata alam, khususnya terkait perlindungan keanekaragaman alam. Jangan sampai semua objek dijadikan wisata massal.Â
Destinasi yang mengandung kekayaan alam sebaiknya diubah menjadi wisata khusus untuk mengurangi tekanan terhadap ekosistem. Diperlukan penanganan dan pembatasan khusus untuk menghindari dampak negatif.
Pembatasan wisata khusus merupakan salah satu cara untuk menyeleksi kualitas wisatawan yang berkunjung.Â
Kualitas mengacu pada wisatawan dengan daya beli tinggi dan kesadaran lingkungan. Keuntungan finansial diperoleh tanpa merugikan lingkungan. di sisi barat pepatah, orang kulit merah merebut dayung dua atau tiga pulau.
Salah satu contoh keberhasilannya adalah desa wisata vulkanik purba Nglanggeran yang berubah arah dari pariwisata massal menjadi berwawasan lingkungan berbasis komunitas.Â
Jumlah pengunjung memang berubah drastis, namun pendapatan justru meningkat. Inovasi dan manajemen yang baik menjadi kunci kesuksesan Nglanggeran.
Sangat disayangkan jika sumber daya wisata alam dikelola untuk keuntungan jangka pendek tanpa memperhatikan daya dukungnya. Kerusakan menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki karena parah atau bahkan tidak dapat diubah.Â
Sedih rasanya membayangkan anak cucu kita hanya melihat keindahan, flora dan fauna dalam foto, namun belum bisa merasakannya dengan mata kepala sendiri.
Contoh Pengelolaan Wisata Alam yang Berorientasi pada Kelestarian
Ada beberapa contoh pengelolaan wisata alam yang berorientasi pada kelestarian yang dapat dijadikan referensi.Â
Salah satu contoh adalah Desa Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran yang telah berhasil mengubah orientasi dari wisata masal menjadi wisata berbasis masyarakat yang berorientasi pada kelestarian.Â
Dalam pengelolaan wisata ini, desa tersebut telah mengembangkan inovasi dan pengelolaan yang tepat untuk mengurangi tekanan terhadap lingkungan hidup. Hasilnya, pendapatan desa tersebut meningkat, tetapi jumlah pengunjung juga berkurang secara drastis.
Dolla Marshandra, Ilmu Komunikasi, Dasar - Dasar Jurnalistik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H