Mohon tunggu...
Doli Yoakim Lubis
Doli Yoakim Lubis Mohon Tunggu... Universitas Airlangga

Mahasiswa aktif angkatan 2024 di Universitas Airlangga.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Boys Will Be Boys: Frasa Kuno yang Mengalami Pergeseran Makna dalam Pelanggengan Kebejatan Laki-Laki

3 Januari 2025   11:45 Diperbarui: 3 Januari 2025   11:45 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Dua Anak Laki-Laki Berkelahi (Sumber: iStockPhoto)

Boys will be boys merupakan sebuah istilah yang sudah ada sejak 1589. Pada awalnya frasa ini merupakan istilah yang berasal dari bahasa Latin dan bila diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berbunyi ‘Children[boys] are children[boys] and do children things’. Bila diartikan secara harfiah, sebenarnya tidak ada yang salah dengan istilah tersebut, seorang anak laki-laki berperilaku seperti anak laki-laki sebagaimana mestinya. Namun, seiring perkembangan zaman, terjadi pergeseran makna pada istilah itu. Hal tersebut berawal sejak dipotongnya bagian do children things, lalu berganti istilah menjadi boys will be boys. Bukan hanya digunakan untuk anak laki-laki saja, penggeseran makna kata tersebut bahkan sering kali digunakan untuk orang dewasa. 

Istilah ini sebenarnya masih kurang akrab di kalangan masyarakat Indonesia. ‘Namanya juga laki-laki’ merupakan frasa yang paling mendekati maknanya dengan istilah tersebut. Pemaknaan kedua frasa tersebut sama, yaitu untuk membenarkan perilaku laki-laki dari segala usia. Ungkapan itu sering digunakan untuk mengabaikan tingkah laku laki-laki yang tidak sesuai dengan norma dan adab, seperti kasar atau kekanak-kanakan, lalu ungkapan tersebut diucapkan sebagai pembenaran dan menganggap itu adalah hal alamiah yang dimiliki oleh setiap laki-laki. 

Frasa ini sudah sangat sering dikritisi karena dapat menjadi pembentukan budaya toxic, di mana laki-laki dibiarkan berperilaku tanpa pertanggungjawaban dan dibenarkan karena dianggap itu merupakan perilaku alamiah laki-laki. Pembenaran perilaku tersebut sudah sering dijumpai bahkan sejak seorang anak laki-laki masih kecil. Contohnya adalah perilaku hiperaktif hingga tempramental. Hal tersebut secara tidak sadar sudah diwajarkan oleh orang dewasa yang ada disekitarnya sebab dia secara biologis adalah seorang laki-laki. Penormalisasian perilaku tersebut menciptakan suatu anggapan bahwa memiliki sikap kasar dan tidak beradab adalah hal wajar, yang terus terbawa hingga mereka dewasa. 

Bahkan frasa “Boys will be boys” atau yang lebih akrab “Namanya juga laki-laki” menciptakan zona nyaman bagi laki-laki untuk melakukan apapun yang mereka inginkan, sebab seringkali mereka tidak mendapatkan konsekuensi yang seharusnya. Hal ini dapat terlihat jelas ketika mereka terlibat dalam kekerasan, salah satunya berupa perundungan yang melibatkan kekerasan fisik saat masih di sekolah, hingga berkembang menjadi tindak kejahatan seksual. Ketika sekolah, pelaku perundungan laki-laki seringkali hanya disuruh untuk minta maaf kepada korbannya tanpa diberikan konsekuensi yang membuat mereka jera. Hal tersebut dapat membuat perilaku perundungan kekerasan fisik terjadi berulang. Kekerasan dalam lingkup laki-laki sudah masuk pada tingkat penormalisasian dalam berperilaku. Hal itu disebabkan karena masih kuatnya budaya kekerasan merupakan bentuk menunjukan kemaskulinitasan serta menganggap hal tersebut adalah hal yang wajar dalam menyelesaikan masalah.

Sejak masa sekolah juga seringkali laki-laki mengobjektifikasi perempuan dan terbawa hingga mereka dewasa. Objektifikasi ini seringkali tidak disadari hingga dinormalisasi untuk dilakukan. Contoh yang paling sering ditemui adalah membuat candaan terhadap tubuh perempuan. Hal ini sudah sangat sering dilakukan oleh laki-laki terutama sejak awal mereka mengalami pubertas. Mereka hanya memandang perempuan sebagai objek yang tidak berperasaan atau bukan sebagai manusia seutuhnya. Objektifikasi ini merupakan dasar dari piramida budaya pemerkosaan yang lebih bejat yaitu melakukanpemerkosaan. Pelaku pelecehan seksual sering kali merasa memiliki kekuasaan yang lebih besar dari korbannya yang mendorong pikiran bahwa ia memiliki hak untuk menguasai dan mengenadalikan  tubuh korban.

Perilaku yang sudah dijabarkan di atas merupakan akibat dari menormalisasikan perilaku anak laki-laki dan tidak memberikan konsekuensi yang seharusnya. Sejak kecil, kita seharusnya mengajarkan kepada anak laki-laki untuk berperilaku lembut, menghormati orang lain dan rasa empati. Dengan masih dibenarkan perilaku tgersebut sejak kecil, hanya akan merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Daripada menggunakan kata-kata “Boys will be boys” untuk menormalisasikan perilaku bejat laki-laki, sudah saatnya kita gantikan dengan “Real boys don’t do this” agar mereka bertanggung jawab dengan terhadap perilakunya. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun