Kebetulan libur panjang saat ini saya tidak ke luar kota. Saya hanya mengunjungi beberapa mall untuk makan bareng dengan keluarga. Ada satu hal yang menarik dalam observasi saya selama mengunjungi beberapa mall tersebut adalah selalu ada saja pengunjung yang melakukan selfie, bisa secara sendiri-sendiri maupun dalam kelompok. Gaya saat berswafoto tersebut ternyata macam-macam dengan mimik wajah yang juga dibuat macam-macam, ada yang dilakukan sendiri-sendiri ada yang dilakukan secara berkelompok.Â
Biasanya memang selfie dilakukan dengan riang gembira. Secara psikologi, tersenyum dan tertawa bisa mengurangi tekanan jiwa yang terjadi. Selain itu selfie juga meningkatkan kepercayaan diri. Di sisi lain kalau saya amati berbagai media sosial sebagian besar orang juga melaporkan aktivitas selfienya dari tempat-tempat wisata lainnya. Karena dalam liburan panjang kali ini sebagian besar masyarakat banyak menghabiskan waktu untuk bersantai dan tentunya dengan ber-selfie ria.
Kegiatan selfie sudah mendunia dalam 5 tahun terakhir ini dan semakin meningkat drastis dalam 2 tahun terakhir. Semakin banyak pelakunya semakin banyak laporan kecelakaan yang berhubungan dengan pengambilan selfie tersebut.
Menurut peneliti dari Nottingham Trent University ada 6 motivasi kenapa seseorang melakukan selfie, yaitu meningkatkan kepercayaan diri dan menjadi berbahagia setelah melakukan selfie, mencari perhatian, meningkatkan mood, berhubungan dengan lingkungan sekitar, meningkatkan adaptasi mereka dengan kelompok sosial di sekitar mereka serta bisa juga untuk  berkompetisi secara sosial.
Di satu sisi jelas bahwa selfi emembawa dampak positif untuk mental seseorang. Tetapi ternyata jika selfie dilakukan secara berlebihan sehingga mereka menjadi obsesif untuk selalu mengambil gambar selfie dan melakukan upload ternyata dikelompokan pada gangguan kesehatan yang disebut selfitis.
Selfie sendiri jika tidak dilakukan secara hati-hati bisa membuat celaka bagi pelakunya. Berbagai penelitian dan laporan menyampaikan bahwa terjadi kecelakaan yang membuat pelaku selfie mengalami luka-luka bahkan sampai menyebabkan kematian. Misalnya jatuh pada satu ketinggian, serangan dari hewan liar, sengatan listrik, trauma pada kegiatan olahraga karena kurang konsentrasi kondisi sekitar saat sedang melakukan selfie, kecelakaan lalu lintas baik saat sebagai pengendara maupun saat sebagai pejalan kaki. Â
Oleh karena itu, memang tidak dianjurkan untuk melakukan selfie ketika berada di ketinggian, saat sedang berolah raga, sedang berada di sekitar hewan liar bahkan di beberapa negara melarang masyarakatnya melakukan selfie saat mengemudi dan saat sedang berjalan kaki. Menurut penelitinya Dr. Janarthanan Balakrishnan, penyakit selfitis, yaitu seseorang yang sudah mengalami kecanduan untuk melakukan selfie, membagi selfitis menjadi 3 kelompok.Â
Pembagian ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan di India salah satu negara dengan angka kematian tertinggi yang berhubungan dengan selfie. Pada penelitian tersebut 34 % responden mengalami selfitis borderline, 40.5% mengalami selfitis akut dan 25.5 % mengalami selfitis kronis.
Perlakuan pengambilan selfie secara obsesif lebih banyak pada laki-laki mencapai 57,5 % dibandingkan pada wanita yang hanya 42.5%. Pada penelitian ini juga mendapatkan bahwa kelompok umur 16-20 tahun lebih berisiko terjadinya selfitis. Sembilan persen responden mengambil selfie lebih dari 8 kali dalam sehari dan sekitar 25 % membagi sedikitnya 3 gambar ke sosial media setiap hari. Bagaimana dengan di Indonesia? Memang perlu dilakukan penelitian mengenai fenomena selfie di Indonesia.Â
Selfitis sebagai suatu penyakit juga dibagi menjadi 3 tingkat penyakit:
Boderline: mengambil gambar selfie sebanyak 3 kali dalam sehari tetapi tidak di-posting ke media sosial.Â