Pembaca yang budiman, kali ini saya mencoba menulis mengenai gizi buruk di Indonesia terutama di daerah terdepan Indonesia, lebih tepatnya di Papua. Kenapa papua, ya karena papua saya anggap tanah kelahiran saya yang kedua. Saya mendapatkan banyak pelajaran hidup di sana. Mama, pace, adek, rakyat Papua sangat baik namun sebagaimana kenyataan yang sudah menjadi rahasia umum bahwa Papua masih tertinggal secara sumber daya manusia dibandingkan daerah lain.Â
Sebelum melanjutkan tulisan ini, saya akan menjelaskan terlebih dahulu singkat mengenai diri saya, tanpa ada maksud agar popularitas saya meningkat, toh saya bukan pesaing Gus Ipul atau Ibu Kofifah untuk Jatim satu.
Saya hanyalah seorang dokter yang pernah menjalani PTT pusat di Mamberamo Raya, Papua. Sebuah daerah yang masuk kategori sangat terpencil (kelak saya ingin disebut daerah terdepan). Selama dua tahun saya mendalami persoalan kesehatan di Papua, meskipun belum seluruhnya saya tulis dan saya bagikan, namun saya masih ingat banyak hal yang saya dapatkan dua tahun mengabdi di sana dan salah satunya yang lagi nge-hitz mengenai bencana gizi buruk di Papua.Â
Saya akan sebutkan batasan diri saya agar tidak salah tafsir saya adalah pendukung, bahwa saya bukanlah pendukung salah satu calon presiden 2019 baik Prabowo maupun Jokowi, saya bukan kader salah satu partai berlambang banteng maupun garuda atau yang lain. Sehingga tulisan ini bukanlah sebuah upaya propaganda atau kampanye hitam, menyudutkan pihak lain, membela pihak lainnya.
Beberapa hari lalu, berita mengenai kematian bayi akibat gizi buruk di Asmat menghiasi media massa. Ibu pertiwi sedih, bayi-bayi mungil di ujung timur Indonesia yang mestinya tumbuh dengan baik harus meregang nyawa akibat penyakit yang preventable. Mereka yang terlahir sebagai anak  Asmat harus kembali kepada sang pencipta tanpa bisa mencicipi keindahan alam Asmat yang jadi rebutan jutaan pasang mata. Nada-nada sumbang dari berbagai pihak, tunjuk hidung oleh berbagai pihak mengarah kepada satu nama, Presiden Joko Widodo.
Pada Januari 2016 pkl 19.00, salah satu partai oposisi membuat opini di halaman resmi akun facebook mereka. Pembangunan infrastruktur yang dibanggakan oleh Presiden RI Joko Widodo di Papua selama ini ternyata menjadi kedok lalainya pembangunan sumber daya manusia yang ada di sana. Belakangan kedok itu pun terkuak, 63 anak suku Asmat meninggal akibat gizi buruk dan wabah campak.Â
Kematian tersebut menjadi indikasi bahwa rakyat Papua butuh perhatian khusus terutama kebutuhan pangan bergizi serta fasilitas kesehatan yang memadai. Bukan jalan beton yang dapat menghidupi mereka, melainkan pangan bergizi dan bantuan fasilitas kesehatan yang sebenarnya mereka butuhkan.
![sumber foto: komodotravellers.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/01/19/1440x812-0-79-870x491-papua-5a61d90b16835f0d6b3e2c72.jpg?t=o&v=770)
Apabila mereka lahir di tengah hutan yang berjarak tempuh sekitar tiga hari dua malam dari pusat distrik, di situ pula mereka memilih untuk tumbuh membangun masyarakat tanpa ada fasilitas menopang mereka bisa membaca, hidup sehat, dan memahami agama.
Bagaimana ketika hidup di daerah seperti ini, konsekuensinya segala kebutuhan hidup harus mereka penuhi dengan berburu di hutan atau memetik hasil kebun mereka sendiri. Pengetahuan mereka akan personal hygiene, bagaimana memberikan nutrisi bagi ibu hamil untuk menopang janin, bagaimana memberikan asupan makanan yang baik bagi bayi masih sangat belum dikuasai mama di hutan Papua.
Saya pernah berkunjung ke salah satu kampung di Mamberamo Raya, dibutuhkan perjalanan 2 malam dengan speedboat untuk mencapai kampung ini. Saya mendengarkan dengan cermat keluhan mereka, dua tahun terakhir Puskesmas setempat tidak pernah mengunjugi kampung mereka. Bagaimana mereka berobat selama ini? menunggu pace kepala desa punya anggaran untuk bisa beli bensin, dengan harga bensin 1 liter 20 rb rupiah, dibutuhkan tidak sedikit uang agar mereka bisa naik perahu ketinting (sebutan perahu kecil) berobat massal ke Puskesmas.Â