Ketiga, tidak diperbolehkan menyalahkan dokter hewan pemberi pelayanan konsultasi, jika ternyata hewan yang sakit belum sembuh. Karena namanya saran pertolongan pertama, tidak serta merta menyelesaikan persoalan yang sebenarnya.Â
Selain itu, dokter juga sebenarnya bukan penentu kesembuhan. Karena sang pemberi kesembuhan adalah Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa.
Keempat, belum kuatnya regulasi hukum yang mengatur telemedicine bagi kedokteran hewan. Kondisi ini tentu patut kita dorong agar pemerintah segera memperkuat aturan hukum terutama tentang regulasi teknis telemedicine sektor kesehatan hewan.
Tujuannya adalah agar persoalan yang berpotensi akan timbul, dapat diatur dan dinaungi dalam satu regulasi.
Kelima, belum tersedianya jaringan infrastruktur TIK (Teknologi, Informasi dan Komunikasi) kesehatan hewan yang memudahkan saran rujukan. Terutama, jika berkenaan dengan resep dokter hewan secara online.
Mengenai hal ini, kerja sama yang kuat antara perhimpunan dokter hewan Indonesia dan ikatan apoteker Indonesia, patut ditingkatkan. Mengingat, hingga saat ini tidak ada profesi apoteker khusus hewan. Apoteker baik hewan maupun manusia selama ini sama.
Keenam, tidak meratanya dokter hewan praktik di seluruh daerah di Indonesia. Akibatnya, rujukan kemana praktik dokter hewan yang akan dituju juga menjadi kendala.Â
Oleh sebab itu, perlunya kita dorong untuk setiap pemerintahan daerah agar merekrut tenaga dokter hewan jika di daerahnya belum memiliki dokter hewan praktik. Terutama bagi daerah 3T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal) membutuhkan peranan atau intervensi pemerintah.
Semoga bermanfaat.
