Sebagai anak yang hidup di daerah perdesaan pada awal tahun 1990an, momentum ramadan menjadi bulan yang istimewa. Untuk menyambutnya saja, kami bersama teman-teman biasanya menyiapkan "long", sebuah meriam bambu yang bakal digunakan untuk ngabuburit dan menyemarakkan ramadan.Â
Selain itu, beberapa teman lainnya juga menyiapkan petasan dari busi bekas atau petasan ketuk dari jari-jari ban sepeda. Tujuannya adalah agar dentumannya membuat ramadan semakin semarak. Maklum, wilayah perdesaan kami saat itu sangat sepi. Jarak antara satu desa dengan desa lainnya cukup berjauhan.
Sehingga, dengan cara begitulah, sejatinya kami ingin memberikan sinyal bahwa desa kami telah siap menyambut ramadan. Gayung bersambut, desa lainnya pun melakukan tradisi yang sama.
Sementara itu, tepat beberapa hari menjelang ramadan, kami juga mulai membersihkan musala. Sebuah tempat ibadah yang ada di tempat kami. Kala itu, statusnya masih musala, belum menjadi masjid seperti saat ini.
Ketika membersihkan musala, kegiatan yang paling disukai oleh anak-anak adalah mencuci tikar musala di sungai (karpet saat itu belum banyak ditemui di desa kami). Pasalnya, selain mencuci, anak-anak mendapat bonus bermain mengapung menggunakan tikar dan mandi di sungai. Kalau sudah begitu, mencuci tikar menjadi lebih seru dan menyenangkan.
Tarawih Bersama di Musala
Setelah Menteri Agama RI menyatakan bahwa puasa ramadan telah tiba. Info ini kami lihat melalui siaran televisi, kebetulan saat itu yang memiliki tv tidak banyak, diantaranya hanya keluarga kami, maka kami pun bergegas ke musala untuk melaksanakan salat isya dilanjutkan dengan salat tarawih dan witir berjamaah.Â
Tatkala menuju musala, uniknya, kami anak-anak desa kompak membawa sarung yang kami buat menjadi seperti ninja. Persis seperti sekawanan kura-kura ninja yang sedang menuju ke sebuah tempat. Kura-kura ninja pun menjadi film yang cukup populer kala itu.
Tidur di Musala dan Membangunkan Sahur
Setelah salat, ada beberapa teman yang tidur di musala dan beberapa lainnya ada yang tidur dirumahnya masing-masing.Â
Nah, bagi yang tidur di musala, biasanya mereka akan melanjutkan kegiatannya dengan membangunkan masyarakat untuk sahur. Saya termasuk anak yang kerap melakukan itu.
Namun, ada kegiatan lucu yang pernah kami alami. Ketika kami membangunkan sahur, saat itu kami hanya berpatokan pada jam dinding yang ditempel di musala. Tidak ada satupun anak-anak yang memiliki jam tangan. Apalagi gawai. Prinsipnya, kalau jam sudah pukul 03.00, barulah kami beraksi. Keliling kampung sambil memukul alat musik yang sudah kami siapkan. Tapi malam itu aneh, jam rasanya tidak beranjak berputar.
Teman yang bangun duluan, melihat jam masih menunjukkan pukul 01.00 dini hari, ia pun tidur lagi, demikian saya, saya juga melihat jam masih jam 01.00, saya pun juga tidur lagi. Demikian teman yang lain, setiap ada yang bangun, ia melihat jam masih pukul 01.00, mereka pun kemudian tidur lagi.
Sampai pada akhirnya, ibu saya menyusul ke musala, mencari saya, kenapa sudah hampir imsyak tapi saya belum juga pulang. Rupanya, jam dinding di musola sedang mati, karena baterainya habis. Kami pun segera berlarian kerumah masing-masing. Tunggang langgang takut tidak kebagian waktu untuk makan saat sahur.
Buka Puasa Bersama
Momentum lain yang juga tidak kalah serunya adalah ketika berbuka puasa. Biasanya kami berbuka bersama di musala. Meski begitu, ada momen dimana musala terlihat ramai. Hampir semua Anak-anak desa pasti ikut berbuka bersama. Padahal, sejatinya tidak semua anak ikut berbuka puasa bersama di musala.
Saat itu, jadwal takjil (makanan untuk berbuka puasa) adalah giliran keluarga kami. Kebetulan, kalau pas giliran, ibu saya memang selalu membuat makanan yang lumayan enak. Beliau biasanya juga membawa beberapa makanan ringan yang sengaja dibeli dari ibukota Kabupaten. Rupanya, inilah penyebabnya. Anak-anak pun sangat menyukai dan tahu jadwal takjil itu diberikan. Mereka mencatat jadwal, siapa pemberi takjil di setiap harinya. Maklum, saat itu, makanan dari kota menjadi makanan mewah bagi kami.
Malam Takbiran
Setelah satu bulan penuh menjalankan ibadah puasa, kegiatan yang ditunggu-tunggu adalah malam takbiran. Biasanya, kami mempersiapkan malam takbiran dengan membuat obor.Â
Obor kami buat sendiri bersama para orangtua. Obornya terbuat dari bambu dan kami pasang di setiap sudut jalan. Sehingga jalanan pun menjadi terang. Sebuah keadaan yang cukup kontras dibandingkan malam lain selain malam lebaran.
Disamping itu, kami juga melakukan takbiran keliling. Kami juga membawa obor sembari bertakbir keliling dengan berjalan kaki dan membawa beduk masjid yang kami taruh di sepeda.
Allahu akbar..Â
Allahu akbar..Â
Allahu akbar..
Laa - ilaaha - illallaahu wallaahu akbar..
Allaahu akbar walillaahil - hamd..
Sungguh sebuah nostalgia masa kecil di bulan ramadan yang tidak pernah kami lupakan dan akan selalu kami rindukan.
Selamat menjalankan ibadah di bulan ramadan..
Semoga bermanfaat..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H