Permasalahan penyakit hewan menular strategis dan zoonosis, saat ini tampaknya sedang menjadi persoalan bagi bangsa ini. Mulai dari penyakit ASF atau demam babi afrika, kemudian LSD atau penyakit kulit berbenjol, hingga Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan kini kita juga dihadapkan pada persoalan penyakit Flu Burung.
Belum usai semua itu, di beberapa daerah saat ini juga sedang berjibaku melawan penyakit Rabies. Seperti di Kabupaten Barito Selatan, Provinsi Kalimantan Tengah. Pada 30 Januari 2023 yang lalu, Bupati Barito Selatan, melalui Pj Bupati Barito Selatan, Lisda Arriyana telah menetapkan Status keadaan tanggap darurat Bencana Non alam Kejadian Luar Biasa Rabies di wilayah Kecamatan Dusun Selatan, Dusun Utara dan Kecamatan Bintang awai Kabupaten Barito Selatan.
Sementara itu, persoalan Covid-19 yang juga ditengarai sebagai zoonosis (penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia), hingga saat ini belum juga usai. Artinya, tantangan penyakit dan ancaman krisis global menjadi keniscayaan yang patut kita hadapi bersama.
Dalam mengatasi persoalan kesehatan hewan, sejatinya aturan hukum kita sudah jelas mengaturnya. Salah satu komponen penting dalam pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan adalah keberadaan Otoritas Veteriner.
Hal ini tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 41 Tahun 2014 dan diubah kembali menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta terakhir menjadi Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perpu Cipta Kerja.
Dari beragam perubahan tersebut, menariknya: persoalan tentang Otoritas Veteriner justru tidak pernah dilakukan perubahan. Dengan kata lain, otoritas veteriner telah diatur sejak tahun 2009 dan hingga kini belum ada perubahan. Sehingga seharusnya, keberadaannya menjadi pintu utama dalam menghadapi persoalan kesehatan hewan.
Otoritas veteriner adalah kelembagaan Pemerintah dan/atau kelembagaan yang dibentuk Pemerintah dalam pengambilan keputusan tertinggi yang bersifat teknis kesehatan hewan dengan melibatkan keprofesionalan dokter hewan dan dengan mengerahkan semua lini kemampuan profesi mulai dari mengindentifikasikan masalah, menentukan kebijakan, pelaksana kebijakan,mengoordinasikan sampai dengan mengendalikan teknis operasional di lapangan.
Pada pasal 68 UU Peternakan dan Kesehatan hewan, Penyelenggaraan kesehatan hewan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia  memerlukan otoritas veteriner. Di samping melaksanakan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan, kesehatan masyarakat veteriner, dan/atau kesejahteraan hewan, otoritas veteriner juga melakukan pelayanan kesehatan hewan, pengaturan tenaga kesehatan hewan, pelaksanaan medik reproduksi, medik konservasi, forensik veteriner, dan pengembangan kedokteran hewan perbandingan.
Selain itu, tindakan pemusnahan hewan langka dan/atau yang dilindungi yang tertular oleh penyakit hewan menular eksotik juga dilakukan oleh otoritas veteriner melalui koordinasi dengan instansi yang berwenang di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Otoritas Veteriner, Otoritas Veteriner mempunyai empat belas fungsi, yakni sebagai pelaksana Kesehatan Masyarakat Veteriner; penyusun standar dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Kesehatan Hewan; pengidentifikasi masalah dan pelaksana pelayanan Kesehatan Hewan.