Barangkali kita sepakat, jika iklan sirup sudah mulai tayang dan mendominasi periklanan di televisi (TV), artinya bulan ramadan telah dekat. Artinya juga, hari Raya Idul Fitri atau lebaran juga sudah menjelang.
Hal ini tentu bukan tanpa alasan, nyatanya, iklan ini telah tayang berulang hingga bertahun-tahun. Bahkan, sejak tahun 2000an, iklan ini sudah bermunculan.Â
Walaupun dengan konsep iklan yang terus berubah setiap tahunnya, faktanya lebih dari 20an tahun iklan sirup kerap menjadi pertanda bahwa bulan puasa telah dekat.
Dikaji dari sisi komunikasi, periklanan yang telah melekat di hati masyarakat Indonesia ini, tentu menjadi nilai positif bagi produk yang diiklankan. Dengan kata lain, sirup memang cukup lekat dengan nuansa ramadan dan lebaran di negeri ini.
Hal ini ternyata juga didukung oleh Erdiansya Nur Fitra dari Universitas Negeri Makassar. Dalam penelitian yang dilakukannya pada tahun 2018, ia mengkaji fenomena ini dengan judul Analisa Strategi Iklan Sirup Marjan Pada Bulan Ramadan. Hasilnya, Erdiansya mengungkapkan bahwa memahami keinginan dan kepuasan konsumen adalah suatu yang paling utama dalam beriklan. Walakin, kesuksesan suatu iklan bukan hanya untuk mendapatkan keuntungan semata, tetapi membangun image atau citra brand juga cukup penting bagi sebuah produk.
Selanjutnya, iklan sirup ini terbukti menjadi contoh iklan yang tidak mengandalkan persuasif dalam beriklan. Tetapi, telah berhasil mengubah mindset konsumen.
Akibatnya, iklan sirup juga dinilai sukses membangun pendekatan culture atau budaya. Terbukti, sirup seolah menjadi budaya yang wajib dikonsumsi saat bulan puasa.Â
Apalagi, iklan tersebut dikemas dengan cerita bersambung yang kreatif, sehingga ini menjadi mudah diingat dan memoriable, tanpa harus menggunakan kata persuasif untuk membujuk masyarakat.
Apakah anda setuju?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H