Dua hari yang lalu, tanggal 19 Juli 2017, seluncuran dunia maya Indonesia dikejutkan dengan berita tentang seorang figur publik bernama Oka Mahendra Putra yang meninggal dunia karena diisukan bunuh diri. Menurut berita yang ada, bahwa orang yang selama ini terkenal karena merupakan CEO Takis Entertainment ini, meninggal karena bunuh diri dengan menenggak racun sianida di kediamannya di kawasan Tangerang.
Namun, gosip-gosip tersebut dibantah langsung oleh pihak keluarga yang menyatakan bahwa Oka sendiri selama 2 bulan terakhir tidak makan dan minum bahkan beraktivitas sama sekali. Hal tersebut juga dibantah oleh pihak kepolisian, melalui Kasat Reskrim Polres Tangerang Selatan, AKP Alexander Yurikho. Beliau mengatakan bahwa tidak ada kasus bunuh diri atas nama Oka Mahendra Putra. Sampai tulisan ini dimuat, kepolisian masih mengungkapkan sebab di balik kematian Oka Mahendra Putra sendiri yang sudah dimakamkan di kompleks pemakaman muslim Al-Maajid, San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat.
Curhatan tersebut sempat menimbulkan berbagai respons dari masyarakat, ada juga yang merasa kasihan, ada juga yang merasa kesal dengan curhatan tersebut dan menudingnya sebagai hal yang dibesar-besarkan. Beberapa bulan yang lalu, juga, ada 2 kasus bunuh diri yang sempat menghiasi berita para netizen, yaitu kasus bunuh diri dari seorang bernama Pahinggar Indrawan yang dia siarkan sendiri melalui Facebook Live, dan juga kasus bunuh diri yang mengakhiri nyawa Jiro Inao, seorang warga negara Jepang yang terkenal sebagai General Manager dari idol group Indonesia paling populer, JKT48.
Hal yang cukup gila ketika dalam pergosipan di dunia maya, minimal sudah 4 kali kita berbicara tentang kasus bunuh diri. Sebuah kasus yang sudah seharusnya menjadi perhatian bagi pihak institusi kesehatan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa setidaknya pada tahun 2015, tercatat ada 812 orang yang melakukan bunuh diri di Indonesia. Diperkirakan sekitar dua hingga tiga orang di Indonesia melakukannya setiap hari. Angka tersebut baru hanya angka yang tercatat di kepolisian, mungkin angka aslinya bisa saja lebih tinggi.Â
Data tentang bunuh diri lainnya juga dicatat oleh WHO. Menurut data WHO, tercatat bahwa tingkat bunuh diri di Indonesia sendiri tercatat cukup tinggi. Dimana, setiap 100.000 penduduk, tercatat ada 24 kasus bunuh diri. WHO sendiri mengonversi bahwa sekitar 50.000 warga Indonesia melakukan bunuh diri setiap hari, angka yang tidak jauh berbeda ketimbang Jepang, yang cukup terkenal dengan budaya harakiri (bunuh diri).
Angka tersebut seolah-olah memberikan pesan bagi kita semua tentang bahaya dari bunuh diri itu, sehingga perlunya bagi semua pihak, baik itu masyarakat ataupun pemerintah untuk melakukan intervensi. Angka tadi memang hanya tercatat dari kepolisian, namun pastinya angka tadi akan lebih besar jika kita melakukan survey untuk mendata orang-orang yang memiliki pikiran untuk bunuh diri dan belum terlaksana, sama seperti saudara kita yang baru saja disebutkan di paragraph sebelumnya, Afi. Masih banyak dari kita yang belum tahu atau bingung harus bertingkah seperti apa terhadap orang yang punya pikiran untuk bunuh diri, karena benar-benar tidak bisa tertebak seperti apa mereka itu.
- Siapakah diri saya?
- Untuk apa saya diciptakan di muka bumi ini?
Selama berminggu-minggu, saya sendiri masih belum menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut. Yang ada, malah pikiran untuk bunuh diri saya semakin membesar dan membesar. Bahkan, pada waktu itu, saya sempat mencoba minum pil analgesik dalam jumlah besar hanya sekedar untuk mencelakakan diri sendiri. Namun, tidak ada hal signifikan yang kurasakan pada waktu itu. Hanyalah sakit di perut saja yang kurasakan waktu itu. Hal itu membuatku kembali berpikir kembali tentang makna hidupku sendiri. Terutama, mulai menemukan tujuan dari dua pertanyaan tersebut di atas.
Pelan-pelan, saya mulai kembali menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut. Saya mencoba untuk sedikit terbuka tentang permasalahan yang saya alami, pertama-tama, terbuka ke orang tua dan beberapa teman yang saya percaya dan saya rasa mampu untuk mengatasinya. Dari pembicaraan tersebut, saya mulai merasa bahwa salah satu alasan bahwa pikiran-pikiran seperti itu muncul adalah saya yang akhir-akhir ini mulai kurang dekat dengan Allah SWT.
Dari situ, saya mulai kembali melihat ke belakang tentang kesalahan atau dosa apa yang telah saya perbuat selama ini. Baik itu dosa kecil, seperti bercanda atau berkata tidak pada tempatnya, ataupun dosa besar, seperti melakukan perbuatan maksiat. Saya mulai coba kurangi satu-persatu dosanya, meski mungkin masih sangat susah mengingat aku yang terbiasa untuk kurang konsisten.
Namun, dari pembicaraan itu, pelan-pelan, ada beberapa orang yang justru memutarbalikkan pernyataan "aku tidak berguna" tersebut. Mereka meminta aku untuk menerima diri sendiri dan tidak berpikir tentang apa yang akan orang lain katakan kelak, selama hal tersebut masih dianggap benar. Mereka juga mulai kembali menyadarkan saya bahwa tidak ada manusia yang tidak sempurna. Terus terang, saya sendiri merasa iri dengan orang-orang yang memiliki kemampuan di luar apa yang saya punya.Â
Contohnya, ada teman yang bisa memperbaiki lampu di rumah, saya justru tidak. Ada orang yang bisa menyetir mobil dengan bebas, saya justru tidak. Ada orang yang bisa dengan segala ilmu kedokteran yang dimiliki, saya justru tidak. Tetapi, mereka menyadarkan aku tentang satu hal. Yaitu, saya sudah punya satu buku, saya sudah menulis artikel yang sukses dan sempat menjadi pembicaraan di Kompasiana, dan saya sudah nyaris memperoleh gelar dokter. Hal-hal tersebut adalah sebuah pencapaian yang sebenarnya banyak orang ingin peroleh, namun tidak mereka peroleh karena berbagai hal, entah itu dari segi minat ataupun dari segi pendapatan.