Beberapa jam yang lalu, ajang penghargaan Grammy Awards 2016 telah selesai dilaksanakan. Acara yang disebut sebagai The Biggest Night In Music ini sukses menelurkan banyak pemenang dari berbagai kategori genre musik, baik itu Pop, Rock, Jazz, Country, bahkan Rap. Sebagai warga Indonesia, tentu saja kita bangga, karena ada salah satu perwakilan kita yaitu Joey Alexander yang sukses masuk nominasi Grammy untuk Best Jazz Instrumental Album dan Best Improvised Jazz Solo. Meski tidak menang satupun, tetapi Joey Alexander menangi hati kita semua.
[caption caption="Logo Grammy Awards"][/caption]Pada ajang Grammy tersebut, Joey Alexander juga berkesempatan untuk tampil di Grammy membawakan piano solonya, dan sukses mengundang decak kagum penonton dari acara yang diadakan di Staples Center tersebut. Selain Joey Alexander, masih banyak penampilan sensasional lainnya yang disuguhkan pada Grammy Awards tahun ini.
Contohnya, penampilan Lady Gaga yang spektakuler dalam membawakan lagu-lagu David Bowie sebagai penghormatan atas jasanya dalam musik, terutama musik rock. Penampilan duet antara 2 nominasi Best New Artist yaitu Tori Kelly dan James Bay yang sangat merdu disertai dengan akustik gitar. Penampilan duet antara grup acapella Pentatonix dan Stevie Wonder juga cukup menenangkan jiwa, terutama dalam membawakan lagu penghormatan atas band Earth, Wind, and Fire yang baru saja ditinggalkan personilnya, Maurice White. Penampilan energik dari rapper Kendrick Lamar juga layak disaksikan, dimana penampilan tersebut membawakan pesan "Black Lives Matter" yang akhir-akhir ini sering menjadi trending topic di Amerika, apalagi setelah penampilan kontroversial Beyonce di Superbowl, bahkan penampilan tersebut mendapatkan pujian dari Adele ketika membawakan lagunya berjudul "All I Ask".
[caption caption="Penampilan fantastis Kendrick Lamar di Grammy 2016. sumber : l4u.com"]
Dan, tentu saja masih banyak lagi penampilan yang ditawarkan di Grammy 2016 ini, yang tentu saja sayang jika para pembaca lewatkan.Â
Meskipun banyak sekali penampilan sensasional yang dihidangkan, Grammy 2016 ini harus berakhir dengan hal yang sedikit kontroversial. Terutama, pada pemberian pemenang Album Of The Year. Pada tahun ini, penghargaan tertinggi di Grammy tersebut jatuh ke tangan Taylor Swift dengan albumnya yang berjudul "1989". Album yang dirilis pada akhir 2014 ini memang sangat fenomenal dari segi penjualan, bahkan sukses menembus angka lebih dari 1 juta kopi pada minggu pertama di Amerika Serikat. Prestasi yang dibilang fantastis untuk sebuah album. tetapi bukan untuk Taylor, karena album-album sebelumnya juga sukses terjual lebih dari 1 juta kopi di minggu pertama, sehingga bisa dibilang wajar. Hal ini juga ditambah dengan tur dunia albumnya yang sukses sold out.
Saya menganggap kemenangan Taylor ini sedikit kontroversial, karena menurut saya, penghargaan ini jatuh ke tangan rapper Kendrick Lamar dengan albumnya yaitu To Pimp A Butterfly. Bagi saya, ini bukanlah pendapat yang terkesan bias meskipun saya merupakan fans musik hip-hop, karena album ini tidak menampilkan hip-hop dan rap sebagai genre satu-satunya. Album ini bisa dibilang campuran yang indah dari berbagai genre musik, baik itu soul, funk, jazz, bahkan ada spoken word dan pesan yang ditanamkan album ini sangat nyata. Dan, album ini bisa dibilang sebagai "one of the best hip-hop album in the history" dan didukung juga oleh pendapat beberapa kritikus musik, yang memberikan album tersebut dengan nilai rata-rata 96 dari 44 review yang ada. Sedangkan, album Taylor yang 1989 hanya dapat rating 76 dari 29 review.
[caption caption="Taylor Swift memenangi penghargaan tinggi di Grammy 2016, sumber : abcnewsradioonline.com"]
Album Taylor Swift sendiri kerap dikritik karena perubahan gaya bermusiknya dari musik country ke musik pop, serta kerap dikritik sebagai album yang cenderung dangkal, meski ada beberapa track di album tersebut yang terkesan kuat, seperti Shake It Off, Out Of The Woods. Tetapi, kritikus musik juga lebih menjagokan album Kendrick Lamar karena album tersebut sangat kohesif untuk sebuah album, dan memang mencirikan sebuah album yang ideal, dimana album tersebut harus didengar dari awal sampai akhir.
Menurutku, ini salah satu tanda bahwa Grammy Awards masih cenderung rasis, dengan menganggap penting karya musik dari musisi "kulit putih" ketimbang "kulit hitam", menilai penghargaan tahunan ini adalah penghargaan yang disebut-sebut "the highest award in music industry".
Bahkan untuk penghargaan Album Of The Year saja, Grammy masih sering "salah" memberikan penghargaan tersebut. Contohnya, di tahun kemarin saja, album Beck yang "Morning Phase" sukses mengalahkan album Beyonce. Tahun 2012, ketika banyak yang memprediksi album brilian Kanye West yaitu "My Beautiful Dark Twisted Fantasy" menang, tetapi tidak masuk nominasi Album Of The Year. Tahun 1980 juga kontroversial ketika nominasi Album Of The Year meliputi legenda seperti Frank Sinatra, Billy Joel, Barbara Streisand, dan Pink Floyd. Pemenangnya malahan album dari Cristopher Cross yang hanya terkenal karena satu lagu. Atau pada Tahun 2002, ketika album OutKast berjudul Stankonia diprediksi akan menang, melainkan harus jatuh ke tangan album kompilasi country berjudul O Brother, Where The Art Thou?