Melihat dari stase ke stase, sudah tak terhitung berapa kali aku merasa tidak berguna, berapa kali juga aku merasa tidak nyaman bersama mereka. Dan, jika ditarik lagi, memang semuanya itu bukan salah mereka. Bukan salah Lintang, bukan juga salah Sani. Namun, salah orang yang aku hadapi di cermin samping kursiku itu. Ya, aku sendiri. Atau lebih tepatnya, sifat inersia yang tinggal di diriku dengan kuatnya.
Aku jadi ingat sindiran keras dari Yani saat jaga bareng di satu stase.
"Jangan pernah bilang kita yang membencimu, Gan. Kamu memang yang tidak nyaman dengan kita, kan?"
Tidak disangka, rekaman memori tadi membuat air mata sedikit menetes. Sampai mas-mas pelayan warung kopi pun sempat heran saat menyajikan gelas kopi kedua yang aku pesan lagi. Harus aku akui, kali ini, segelas kopi belum cukup untuk menghapus kenangan itu semua.Â
Di saat gelas kedua itu aku seduh, baru aromanya aku biarkan menyentuh langit-langit mulut. Dan, dari situ, aku mulai muncul satu pikiran tentang masa lalu itu.
Aku mulai berpikir bagaimana jika di dunia ini memang ada tombol untuk kembali. Aku ingin kembali ke waktu di saat kita buka puasa bareng di sebuah restoran. Itu adalah momen dimana kita pertama kali bertemu dan mengakrabkan diri sendiri. Saling mengenal satu sama lain, dari kelebihan ataupun kekurangannya masing-masing. Bagaimana jika di kala itu aku yang mulai mengubah pikiran buruk itu? Dari yang awalnya beranggapan negatif ke beberapa orang, justru tidak berpikir apapun dan menganggap semuanya hanyalah masa lalu.
Mungkin, di saat itu, aku harus berpikir seperti Yani, masa bodoh dengan apapun. Atau, sudah punya prinsip kayak David. Ah, memang banyaklah yang ingin aku ubah kala itu.
Bisa saja masa koassku selama 2 tahun akan berubah drastis. Aku dan Lintang justru tidak saling membenci lagi. Atau, justru, bisa saja aku dan Tika malah pacaran seperti apa yang aku bayangkan dulu di awal koass. Aku sempat suka dengannya karena auranya yang mengingatkanku akan sosok Nanako. Ya, sebelum direnggut oleh Sani yang dengan kurang ajar membocorkan segalanya. Bisa saja hubunganku dengan beberapa residen malah semakin akrab karena aku yang semakin percaya diri saat itu.Â
Tapi, kembali ke prinsip yang aku pelajari di kampungku dulu, alam takambang jadi guru. Semuanya terjadi supaya aku bisa belajar dari itu. Setidaknya, aku sudah cukup nyaman dengan apa yang aku alami sekarang ini. Menikmati hidupku selama setahun di Gresik, sembari masih berjuang untuk pelan-pelan menghilangkan sifat inersia ini dan belajar dari berbagai macam situasi yang muncul. Aku gunakan pengalaman itu untuk menjalani sisa hidupku yang sekarang.
Itulah kenapa hidup ini tidak punya tombol untuk kembali.
Karena, tidak semua orang justru ingin kembali. Optimisme adalah alasan mereka untuk itu. Sedangkan, pesimislah yang selalu berharap tombol itu muncul.