Aku duduk merenung di atas kasur ini.
Hanya menantikan jawaban atas kerumitan yang melanda.Sudah lelah aku mencari ke sana ke mari demi ituNamun, kau memintaku untuk menanti esok.
Aku duduk merenung di atas kasur ini.Masih mengingat suaramu yang menghitamkan sanubari.Jika tidak sedang ramai, ingin ku tampar wajahmu yang tua itu.Wajah yang penuh akan kelalaian dan kebohongan.
Aku duduk merenung di atas kasur ini.Memikirkan skenario apa yang menjadi rencana saat bertemu lagiAku tidak ingin mendapatkan jawaban esok muncul lagi di telinga.Dari lambe yang suka bercurah-curah tanpa isi.
Hei, kau si tukang tunda.Aku tidak mengerti apa isi otakmu yang sebenarnya.Wajah tak memunculkan charisma, watak tak mengundang hormatOmongan tak membawa yakin, mungkin jati dirimu pun juga tak jelas.
Makhluk seperti apa sih kamu, hey?Seharusnya, aku mendengarkan saran temanku akan dirimu.Kau yang aku anggap sebagai mentor hidupkuNamun, kau justru menutup muka saat aku butuh bantuanmu.
Aku duduk merenung di atas kasur ini.Mengharapkan supaya tidak ada kata esok lagi darimu.Aku akan berusaha supaya itu tidak akan terjadi lagiMeskipun nyawa dan kehormatan menjadi taruhannya.
Semoga tidak ada lagi kata esok bagiku.Dan, juga untuk beberapa saat aku menjalani hidupAku tidak mau lagi ketemu dengan orang sepertimu.Yang hanya suka mengulur-ulur.
- FM -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H