Dulu di kampung ada seorang laki-laki misterius nan jahat bernama Appalak. Misterius karena keberadaannya tak pernah diketahui secara pasti, kecuali bahwa ia ada di kepala dan pikiran setiap orang kampung dan menceritakannya kepada anak-anak. Menceritakan kepada kami yang memang sangat mudah percaya pada setiap omongan orang tua-tua seperti percayanya kami pada tukang sulap yang bisa merubah perempuan jelek menjadi ular yang cantik. Begitulah kami memercayai keberadaan si Appalak menyerupai kepercayaan dan keyakinan kami pada Megaloman yang bisa membakar hutan dari api yang tercipta dari rambutnya.
Lalu siapa pula yang memberi dia nama “Appalak”? Bukankah tidak diketahui siapa bapaknya dimana rumahnya? Tapi begitulah misteri, ia harus mengandung tanda tanya. Harus ada yang ditutup-tutupi. Karena ketika semuanya terbuka maka tak ada lagi yang menarik. Siapa yang memberi nama, dimana tinggalnya itu tidak penting. Yang penting bahwa ia jahat, ia seorang begal berdarah dingin. Pekerjaannya bergentayangan dari kampung ke kampung membawa sebilah belati. Targetnya perempuan. Ditangkapnya perempuan-perempuan itu dan mencongkel klitorisnya (ini soal anatomi kelamin, bukan pornografi) dengan belati. Dikumpulkannya klitoris-klitoris itu dalam sebuah wadah berbentuk kantung yang terbuat dari kulit payudara yang disayat. Horor! Dan aksi Appalak si penjahat kelamin ini akan terus belangsung sampai kantungannya terisi penuh. Berapa banyak yang jatuh korban? Tergantung ukuran payudaranya, maksudnya tergantung ukuran kantungnya. Anggaplah daya tampungnya 500 cc, maka pergilah ke pasar membeli kacang tanah setengah liter dan hitunglah berapa jumlahnya, sebanyak itulah korban yang jatuh. Jahat! Dan tiba-tiba seorang perempuan menjerit begitu ia sadar bahwa ia telah kehilangan klitoris.
Sejak itu, sejak cerita Si Appalak dirilis dan diedarkan dari mulut ke mulut, tak ada lagi anak perempuan yang berani berkeliaran atau bermain jauh-jauh dari rumah apalagi dimalam hari. Lebih memilih tinggal di rumah. Kerjaannya belajar dan mengaji (asiiik.. kayak si Dul aje, lu.). Lalu apakah kami anak-anak lelaki kemudian bisa tenang?
Lain waktu kami diceritakan tentang “Pakkala-kala Ulu”. Seorang kakek dengan karung di pundak dengan “kandao” (sejenis clurit) di salah satu tangannya. Sepintas potongannya mirip pemulung. Matanya yang awas penuh selidik, juga caranya memanggul karung. Bedanya mungkin hanya isi karungnya. Karungnya berisi kepala yang dicabut cari badan anak-anak dengan sekali tebasan dan dimasukkan dalam karung seperti pemulung memasukkan barang rongsokan. Bengis! Dan tiba-tiba seorang anak muncul dengan tangan yang buntung. Katanya ia berduel dengan si Pakkala-kala Ulu. Ia menangkis berusaha menepis tebasan . Si anak berhasil menyelamatkan kepalanya dan harus merelakan tangannya sebagai gantinya. Mendengar cerita ini, seperti anak-anak perempuan itu, kami juga menjadi takut pergi sendirian atau bermain jauh dari rumah. Dan kami tetap tidak rajin belajar dan tidak rajin mengaji.
Hehe..ini “carita riolo” (cerita dulu-dulu). Mungkin 30 tahun yang lalu di kampung yang sebagian besar anak-anaknya percaya bahwa Rambo adalah pahlawan nasional Amerika yang mengalahkan tentara Vietnam seorang diri, dan para tetuanya yakin bahwa gerhana bulan terjadi karena bulannya lagi ditelan naga. Saya masih menyaksikan bagaimana orang-orang memukul lesung dengan alu (mappadekko kata orang bugis) untuk mengusir naga. Dan berhasil! Bulannya muncul kembali. Percaya? Tidak percaya? Percaya tidak percaya itu soal pilihan (yang penting anda masih percaya suami atau istri dan orang-orang yang anda kasihi). Jangankan percaya si Appalak, Pakkala-kala ulu, atau Rambo, sekarang presiden saja masih ada yang tidak dipercaya…hehe.
Soal percaya tidak percaya itu pulalah yang ditanyakan pada saya ketika mulai bertugas di rumah sakit I Lagaligo di Kabupaten Timur tiga bulan yang lalu.
“Anda percaya ada kolor ijo?” tanya seorang teman.
“Tentu saja saya percaya adanya kolor ijo seperti saya percaya adanya pisang ijo dan kacang ijo.”
“Maksud saya mahluk yang bernama kolor ijo”, katanya seperti berharap ingin dipercaya.
Kata teman saya ini, kolor ijo telah lama beraksi di Luwu Timur. Sangat meresahkan. Ia penjahat kelamin. Mirip si Applak itu. Tidak diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan. Tapi yang jelas pekerjaannya melukai kelamin perempuan dengan cara menusuknya dengan benda tajam. Pelakunya tak pernah tertangkap, sehingga orangnya tak pernah dikenali apalagi sampai tau warna kolor yang dikenakannya. Katanya korbannya sudah banyak. Dan tentu saja saya tidak percaya. Saya bukan anak kecil lagi.
“Nanti lihat saja buktinya,” kata teman saya.
“Iya, sampaikan sama saya kalau ada korbannya,” kataku pada teman yang bertugas di UGD itu.
Benar. Dua atau tiga hari kemudian teman saya melapor.
“Dok, kesini liat ada korban kolor ijo” katanya
“Korban bagaimana maksudnya?”
“Korban perempuan dengan tusukan di daerah kelamin”
“Haha, itu juga di poli kandungan banyak korban penusukan di daerah kelamin.” kataku.
Tapi tetap saya kesana. Walaupun bagaimana saya tetap penasaran. Dan memang benar adanya ada dua perempuan sedang merintih kesakitan dengan luka di daerah kelamin. Yang satu bahkan harus didorong ke OK (kamar operasi) karena tusukannya menembus buli-buli (kandung kemih). Ini korban yang kesekian. Tapi pelakunya tak pernah tertangkap dan orang-orang menyebutnya si kolor ijo. Tapi saya bukan anak kecil lagi. Tetap tidak percaya.
Dibulan kedua saya bertugas, korban penusukan masuk lagi. Di daerah kelamin lagi, juga dua orang dan tentu saja perempuan. Pelakunya tetap misterius. Sebutlah ia kolor ijo. Saya tidak percaya tentunya. Dan kemudian di bulan ketiga ini, tadi pagi-pagi saya berpapasan dengan dokter anestesi. Habis operasi katanya. Korban kolor ijo, katanya lagi. Bergegas ke UGD saya mencari keterangan. Benar, tadi sekitar jam 3 dinihari ada 3 korban perempuan penusukan di daerah kelamin. Dua orang diteruskan ke kamar operasi menjalani prosedur laparatomi karena tusukan kolor ijo menerobos masuk menembus rongga perut. Pelakunya tetap tak berjejak. Kolor ijo tetap misterius.
Percaya kolor ijo? Ini bukan soal percaya atau tidak percaya kolor ijo. Apapun warna kolornya yang jelas ini sangat meresahkan. Misteri kolor ijo harus segerah dipecahkan. Masyarakat yang resah butuh jawaban. Kita tidak boleh membiarkan masyarakat bermain dan dipusingkan oleh teka-teki kolor ijo. Karena masyarakat yang resah, masyarakat yang mulai tidak sabar cenderung mencari jawabannya sendiri dan dengan caranya sendiri.
Saya mulai mendengar spekulasi bahwa si kolor ijo itu adalah si anu. Si kolor ijo adalah kelompok itu, suku ini. Ini adalah bibit yang berbahaya. Dalam suasana keruh seperti ini, ada saja orang yang suka mengail. Saya mulai takut sebenarnya. Bukan pada si kolor ijo tapi pada orang-orang yang mulai menerka-nerka sosok dibalik kolor ijo. Mulai takut pada mulut-mulut liar yang tak sadar memercik api yang ditujukan kepada golongan tertentu. Di daerah kita ini, di Luwu Timur, keragaman suku dan agama laksana lahan gambut yang kering, mudah terbakar. Kita harus pintar-pintar merawatnya, menjaga agar tetap sejuk. Kita memang khawatir dan resah akibat ulah si kolor ijo ini. Tapi khawatir tidak berarti kita harus bicara sana-sini dengan mulut yang berbusa yang memercikkan bunga api. Kita memang takut, tapi takut bukan berarti harus sembunyi , kemudian diam-diam melempar batu kiri kanan.
Saya yakin pemerintah tidak tinggal diam, pihak kemanan tentu tak berpangku tangan. Karenanya pemerintah dan pihak keamanan harus menunjukkan bahwa ia memang tidak diam dan tidak sedang berpangku tangan. Kita boleh tidak percaya keberadaan kolor ijo, tapi percayalah ada korban-korban yang terbaring dengan luka tusuk di daerah kelamin. Silahkan menganggap kolor ijo itu mitos seperti naga yang menelan bulan atau cerita-cerita rekaan seperti kisah si Appalak dan Pakkala-kala Ulu tapi yakinlah ancamannya itu nyata. Jangan biarkan keresahan itu berubah menjadi amarah. Karena amarah akan membuat kalap dan gelap mata. Selanjutnya akan mejadi babi yang buta. Sungguh kolor ijo tak sekedar ancaman bagi kelamin perempuan tapi ancaman konflik horisantal yang mencabik-cabik perasatuan dan persaudaraan Dan ah, sudahlah..
Ini sudah gelap. Angin dingin di puncak kemarau mulai menusuk. Sebentar lagi listrik padam seperti pada malam-malam sebelumnya. Saatnya memeriksa jendela dan pintu. Takut? Sebenarnya tidak. Karena saya laki-laki. Sementara kolor ijo hanya menyasar perempuan. Saya hanya merasa sedih. Tadi dapat pesan dari teman bahwa sekarang telah beraksi penjahat “kolor merah jambu", sasarannya laki-laki dengan merampas biji pelirnya. Tanpa menggunakan senjata tajam tapi mencabik dengan kukunya. Seperti kolor ijo ia bekerja senyap dan cepat. Seperti angin malam, ia menyusup dengan lembut masuk melalui celah yang paling sempit sekalipun. Inilah yang membuat sedih, membayangkan besok pagi bangun tanpa testis. Oh, apalah arti laki-laki yang hidup tanpa biji pelir.