Mohon tunggu...
irfan irfan
irfan irfan Mohon Tunggu... -

Dokter Patologi Klinik. Bekerja di RSUD. Kab. Luwu Timur Sulawesi Selatan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Selamat Hardiknas, Burung Elang Bondol!

3 Mei 2015   10:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:26 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di suatu waktu di suatu tempat. Tahun 2007. Di sekolah dasar yang didirikan karena instruksi presiden. Karena instruksi itu adalah instruksi yang ke 9 yang keluar di tahun 1980, disebutlah SD Inpres 9/80.

Seandainya dilihat dari udara, misalnya kita adalah burung elang bondol yang terbang berputar-putar mengincar anak ayam milik penjaga sekolah (penjaga sekolahnya punya banyak ayam, istrinya menjual kue yang terbuat dari singkong yang diparut, ada pisang didalamnya, direbus hingga matang kemudian ditaburi parutan kelapa yang tidak muda dan tidak terlalu tua, beppa janda asenna...), maka kelihatan bangunan sekolah membentuk formasi huruf U. Di depannya ada lapangan yang terbuat dari tanah merah berdebu dan sebatang bambu tiang bendera. Di depan pagar sekolah setelah jalan kecil, ada lapangan bola yang cukup luas atau barangkali terlalu luas dari yang seharusnya menurut standar FIFA maksimal 120 m x 90 m.

Bila terbang lebih tinggi lagi, terlihat bahwa sekolah ini terletak di tengah dusun dengan rumah yang berdiri berjauh-jauhan diselingi oleh kebun coklat dan lada. Ada juga pohon yang lain semacam kapuk randu yang buah matangnya terbelah tiga diterpa panas. Isinya yang putih berhamburan membawa biji diterbangkan angin. Pergi kemana saja, dimana angin membawanya. Tumbuh jauh dari pohonnya entah dimana ia mendarat. Begitulah alam memiliki sabda sendiri dalam mengatur hidupnya. Dan begitu pulalah pohon kapuk itu tiba-tiba tumbuh dan besar di belakang sekolah. Siapa yang menanam, bagi penjaga sekolah adalah misteri terbesar dalam hidupnya. Mungkin baginya, salah satu dari 7 keajaiban dunia adalah pohon kapuk di belakang sekolah.

Dan..oh, burung elang bondol itu tiba-tiba menukik. Burung elang terbang rendah. Saya rasa ia melihat kami dalam kelas. Kami itu adalah saya, pak guru dan murid murid sekolah.

Saya ada adalah kepala Pustu (puskesmas pembantu, semacam kantor cabang dari puskesmas) pejabat struktural tertinggi di desa itu bersama kepala Desa dan Kepala Pos Polisi (ini juga cabang dari polsek). Waktu itu sedang melaksanakan program pemberian obat cacing berkala bagi murid SD.

Pak guru adalah seorang lelaki ( ya, iyalah) yang penuh semangat. Pandangannya tentang pendidikan sangat ideal. Sepertinya banyak membaca teori-teori pendidikan. Saya ingat ia pernah menyebut satu teori tentang konstruktivisme dalam pendidikan. Apa itu? Mudah-mudahan saya bisa bertemu lagi dengan pak guru dan menanyakannya. Ki Hajar Dewantara adalah tokoh idolanya (kalo saya Rafi Ahmad!). Ia adalah guru yang baik. Selalu menyemangati siswa untuk tekun belajar agar bisa menjadi dokter seperti kepala pustu itu wink emotikon. Ia adalah bukti nyata dari guru yang mengamalkan petuah Ki Hajar "Tut wuri handayani". Seandainya saya jadi presiden maka akan kuangkat dia menjadi guru PNS. Sayang saya hanya seorang kepala pustu dengan status pegawai tidak tetap (PTT).

Murid SD adalah murid yang juga baik hati. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Patuh dan taat pada perintah guru dan orang tua. Rajin belajar, giat bekerja, serta suka beramal. Ikut memelihara dan menjaga keamanan lingkungan sekolah. Memelihara kerukunan antar sesama teman. Persis seperti apa yang dijanjikannya pada tiap hari senin pada saat upacara. Semua begitu kecuali satu. Seorang murid bernama Jator. Dirumahnya dipanggil Jator, disekolahnya dipanggil Jator, didaftar absensi murid memang tertulis Jator. Ini nama tiba-tiba lain dari nama anak-anak yang lahir ditahun 2010-an yang berbau sinetron dan komersil. Jator tidak termuat dalam daftar buku panduan mencari nama anak yang baik. Pernah saya mencari rujukan dari bahasa apakah itu Jator tercipta. Saya tak menemukan maknanya. Tetangganya bilang Jator itu singkatan dari jatuh dari motor. Konon ketika ibunya diantar ojek hendak bersalin, Jator nongol duluan sebelum sampai. Jatulah dia dari motor. Ini hoax. Dari kedua orang tuanya saya mendengar versi yang benar. Jator adalah singkatan dari Jawa-Toraja bukan jatuh dari motor. Bapaknya Jawa, Ibunya Toraja. Lahirlah Jator. Jator adalah symbol penyatuan jati diri dari kedua orang tuanya. Hmm..nama yang praktis dan semena-mena. Tapi Jator memang begitu orangnya, semana-mena kata Pak Guru. Saya sendiri melihat kesemena-menaan itu.

Burung elang bondol itu juga melihat. Ruang kelas dengan lantai tegel putih. Selalu dijagah agar tetap bersih. Tidak boleh terkontaminasi oleh tanah merah lapangan upacara. Semua bentuk alas kaki harus dilepas di luar kelas kecuali kaos kaki. Kalau toh ada sedikit debu atau sedikit remah-remah tanah merah yang masuk, akan hilang menempel di kaos kaki. Begitulah cara Pak Guru menjaga lantai tetap kinclong. Tapi tidak bagi Jator. Tak pernah ia melepas sepatunya yang tak pernah tercuci, hitam merah tanah. Jator memang semena-mena. Tapi sejatinya tidak begitu. Saya pernah bercerita dengan orang tuanya. Sepertinya ia anak berkebutuhan khusus. Nantilah dikesempatan lain saya bercerita tentang Jator yang semena-mena. Tapi setidaknya hari itu saya melihat satu hal dan menduga bahwa kesemena-menaan Jator lahir aturan sewenang-wenangan Pak guru. Aturan lepas sepatu tidak berlaku untuk pak guru.

Pak Guru yang bersemangat itu lupa bahwa roh dari teori konstruktivisme adalah teladan dan pembiasaan. Ki Hadjar sendiri menerjemahkan kontruktivisme sebagai “pendidikan yang berdaya-upaya dengan sengaja untuk memajukan hidup-tumbuhnya budi-pekerti (rasa-fikiran, rokh) dan badan anak dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan...” Pak guru terlalu sibuk ber “Tut wuri handayani “ dan kemudian kehilangan daya menjadi “Ing Ngarso Sung Tulodho” dan lupa ber “Ing Madyo Mangun Karso”. Kita sepertinya tidak percaya bahwa satu teladan yang baik lebih baik dari seribu nasihat. Tapi sudalah, kemendiknas memang sudah lama mengebiri Trilogi kepemimpinan Ki Hajar Dewantara sang Bapak pendidikan itu dengan hanya mengambil “Tut wuri handayani” pada logonya. Logo adalah simbol yang mewakili siapa kita sebenarnya. Jadi pak guru sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Jatorlah memang yang semena-mena. Semena-mena sejak ia diberi nama.

Selamat Hardiknas burung elang bondol, selamat hardiknas pak guru, pak penjaga sekolah...

[caption id="attachment_364150" align="aligncenter" width="300" caption="Bersama murid-murid SD Inpres Bantilang Kabupaten Luwu Timur Sulawesi Selatan"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun